Nasionalisme
dan praktek demokrasi kita :
Bermitra
atau bertentangan?
Dalam pengalaman
sejarah kita sendiri, sangat jelas bahwa semangat dan cita rasa kebangsaan
itulah yang menghantarkan bangsa ini kepada kemerdekaan, melalui kesempatan untuk
membangun sebuah sistem politik yang demokratis. Jika ditelaah dengan cermat
substansi ini berisi gagasan yang kompeten di bidang masing-masing. Nilai-nilai
kebangsaan, kemerdekaan, dan demokrasi akan terus menyertai perjalanan.
Ketiganya terjalin dalam hubungan persenyaaan yang kuat. Kita tidak mungkin
mengembangkan demokrasi dan memberi makna pada kemerdekaan di luar bingkai
kebangsaan. Demokrasi yang memberi legitimasi kepada kedaulatan rakyat tidak
mungkin diekspresikan secara efektif di luar formasi kebangsaan. Kedua nilai
kebangsaan dan demokrasi akan kehilangan dinamika hidup, dan demokrasi tanpa
nasionalisme akan menjadi liar.
Menjadikan
kemerdekaan sebagai pengikat persatuan dan kesatuan bangsa juga membangun etos
dan identitas nasional. Kemerdekaan juga harus menjadi alat untuk membangun dan
menjaga demokrasi, serta membangu rasa hormat terhadap kebudayaan dan tradisi
yang berbeda-beda. Kemerdekaaan harus menjadi alat untuk membangun dan menjaga
demokrasi membangun dan mengembangan etos dan identitas nasional, serta alat
untuk membangun dan mengambangkan etos dan mementingkan persatuan dibandingkan
mementingkan kesukuan. Dalam hal ini yang terpenting adalah kemerdekaan harus
dijadikan sebagai alat proteksi terhadap kejahatan, terhadap saudara-saudara di
masa mendatang. Harus disadari kejahatan-kejahatan yang pernah kita lakukan di
masa lalu, selalu saudara-saudara kita yang selama ini menjadi korban kemudian
memberontak dengan mengedepankan simbol-simbol sara.
Dalam berbagai
diskusi dan seminar kemudian berkembang dan membentuk opini public bahan
nilai-nilai primodialisme haruslah dikikis, dieliminir basis-basis dan
pengaruhnya sebab sangat berbahaya. Nilai-nilai primordial sendiri menunjukan
pada semangat kelompokisme, daerahisme,
agamaisme, termasuk yang tergolong primordialisme
baru (Neo Primordial) berupa adanya
kelompok-kelompok cendikiawan yang terbentuk dalam beberapa tahun terakhir.
Semangat nasionalisme yang kuat, dalam sejarah misalnya terbentuk satu
organisasi kedaerahan untuk tujuan perjuangan kemerdekaan, justru menjadi
cambuk bagi pemuda-pemuda dari daerah atau suku lain. Maka mereka membangun semangat
gerakan bersama, untuk mempersamakan visi dan persepsi gerakan nasional maka
tidak heran kalau perkumpulan kedaerahan mewujudkan inisiatif berupa kongres
pemuda kesatu tahun 1926 dan kedua tahun 1928 yang kemudian melahirkan sumpah
pemuda dan menjadi symbol persatuan dan kejuangan pemuda hingga saat ini.
Organisasi-oraganisasi
keagamaan tak kala perannya memberikan semangat nasionalisme baik dalam
perjuangan menuju kemerdekaan maupun dalam memepertahankan kemerdekaan
Indonesia. Organisasi-oraganisai keagamaan ini, saling mendukung dengan
organisasi yang bersifat nasionalis misalnya antara Boedi Utomo dan Serikat Islam
secara tegas menentang penjajahan meskipun berbeda alasan yakni kalau Boedi Utomo menentang pejajahan karena
pemerintahan asing maka, Serikat Islam menentang penjajahan karena pemerintahan
orang-orang kafir. Dengan berbagai cara semangat nasionalisme terus
dikumandangkan sambil ikut menjadi pemain dalam pasar bebas Internasional.
Sedangkan semangat atau sifat nasionalisme muncul dari pemberontakan terhadap
penjajah, lalu membentuk dirinya sebagai nasionalisme defentiv. Konsep ini secara inplisit dalam bangunan falsafah
Negara, bahwa kita mutlak tidak mentoleril segala bentuk ekspansi penjajahan
sebab tidak manusiawi dan karenanya penjajahan harus dilenyapkan di muka bumi.
Sebagai bangsa yang perna dijajah, alasan tersebut bukan saja benar secara
logis, tetapi juga wajar secara psikologis. Konekuensinya, kita harus tetap
mempertahankan kemerdekaan walau bukan artinya pasif sama sekali dengan urusan
bangsa lain. Kenyataan kita adalah bagian dari apa yang disebut Negara pasca kolonial
yang dengan negara-negara lain didalamnya membangun kepentingan kolektif,
walaupun kemudian kedengaran agak tak sedap diberi lebel negara-negara
berkembang.
Dewasa ini
Negara Republik Indonesia berada dalam era transisi dari suatu Negara yang
berpemerintahan kuat dengan derajat
partisispasi rakyat lemah, menuju suatu Negara demokrasi. Ciri dari suatu
Negara demokrasi antara lain adalah besarnya partisipasi rakyat terhadap
kinerja pemerintahannya. Partisipasi yang aktif bukan saja harus digalakan dan
dibina secara terus-menerus tetapi juga harus berjalan di atas rel akademis
sehingga tidak terjebak ke dalam alam anarkhi
yang dapat menghancurkan system demokrasi itu sendiri. Pemerintahan yang
demokratis adalah pemerintahan oleh rakyat dan untuk rakyat. Keadaulatan
tertinggi berada di tangan rakyat. Pemerintahan mengidentifikasikan dirinya
sebagai pemerintahan yang demokratis, maka rakyat baik melalui referendum
maupun para wakilnya di lembaga legislative, harus memiliki kewenangan untuk
mengubah konstitusi yang merupakan sumber hukum tertinggi di Negara kita.
Dari defenisi tersebut jelas tersirat
pentingnya pengakuan partisipasi rakyat dalam setiap pemerintahan yang
demokratis. Kehendak rakyat untuk melakukan perubahan terhadap konstitusi harus
didasarkan atas pertimbangan yang komperensif.
Secara empiris, chek and balance atau yang sering
disebut balancing of power ada salah
satu dari dua alternative solusi munculnya suatu hegemoni. Artinya suatu
pemerintahan sebenarnya memiliki kecenderungan untuk mendapatkan kekuasaan yang
hegemoni. oleh karena itu salah counter measure yang cukup efektif untuk
menetralisir kekuasaan ini adalah dengan memberdayakan legislative dan
yudikatif di samping masyarakatnya sendiri, sehingga terjadinya equibrium pembagian kekuasaan yang akan
melahirkan suatu stabilitas riil. Pilar utama demokrasi yakni pemisahan
kekuasaan, mensyaratkan adanya ingkat kecerdasan bangsa sehingga mampu membawa
keseimbangan kewenangan antara legislative,
eksekutif dan yudikatif ke arah mantapnya ketahanan politik. Dalam sejarah
politik dunia, pada Negara-negara yang kecerdasan kehidupan atau tingat
kebudayaan atau totalitas tata nilai kemasyarakatannya rendah, berkembang subur
system Monarki absolute, dimana
kekuasaan politik berpusat di tangan Raja atau Ratu. Demikian pula dapat subur
berkembang system otoriter fasis dimana kepala Negara mendominasi kekuasaan
atau juga system komunis dimana kekuasaan politik terkonstrsi di tangan partai.
Satu
hal penting yang hilang dari semua sistem tersebut adalah tidak adanya power sharing. Terjadinya power sharing, selain dapat dilakukan
melalui penyelenggaran pemilihan umum yang bebas, terbuka dan jujur, juga
melalui berbagai koreksi masyarakat secara langsung. Inilah wujud partisipasi
politik rakyat yang sebenarnya. Pemilu saja belum cukup untuk mencerminkan partisipasi politik rakyat.
Mengapa? Pemilihan umum bertujuan memilih wakil-wakil rakyat untuk didudukan
dalam lembaga legislative. Jhon Naisbitt dalam The global paradogs mengemukakan
betapa masyarakat semakin terkooptasi untuk menyerahkan system direct demokrasi. Pasalnya,
wakil-wakil rakyat yang ada di legislative sendiri sebenarnya lebih banyak
dipandang sebagai symbol.(Materi PP PMKRI St. Thomas Aquinas Jakarta)