(Oleh Dominggos Oktavianus )
|
Sebelum Chavez naik menjadi penguasa, negeri ini lebih banyak dikenal hanya
sebagai penghasil minyak terbesar di Amerika Latin. Atau karena keayuan
perempuan-perempuannya, sehingga bolak-balik memenangkan kontes Miss Universe
atau Miss World, tentu tanpa dibombardir kontroversi seperti Artika Sari Devi. Selebihnya, Venezuela
yang berpenduduk hanya 23 juta, tidak lebih istimewa dibanding Kolumbia, negeri
dimana bisnis narkobanya melebihi aktivitas ekonomi tradisional rakyatnya. Atau
Brazil
yang kerap menjadi tuan rumah Forum Sosial Dunia (WSF) setiap tahun sejak 2001.
Atau tentu saja, dibanding musuh laten Amerika Serikat (AS), Fidel Castro, politisi
gaek yang sejak tahun 70-an kerap menggampar mikrofonnya setiap kali
mengucapkan kata “United States!”
Chavez adalah the rising star, seorang pemimpin muda (usianya 43)
yang begitu dicintai oleh orang-orang miskin, sehingga mampu lolos dengan gemilang
dari dua kali kudeta yang didukung klik militer sayap kanan, para pengusaha,
pemilik media dan sejumlah pimpinan serikat buruh konservatif, gereja Katolik
dan tentu saja Pemerintahan AS.. Setelah kudeta militernya sendiri gagal di
tahun 1992, nama Kolonel Chavez justru melambung di hati rakyat miskin Venezuela, yang
sudah muak dengan korupsi dan kebejatan para elite sipil dan militer waktu
itu.
Chavez dan Venezuela
juga menarik untuk dipelajari karena, saat di Indonesia militer dipandang sebagai
problem besar demokrasi, kerja sama militer-sipil justru menjadi tulang
punggung kesuksesan program-program populis Chavez. Semangat membangun
kemandirian ekonomi dalam negeri menjadi proyek nasional bersama dari angkatan
bersenjata dan kelompok sipil pendukung Chavez. Uniknya, demokrasi politik
di Venezuela
tidak terkorupsi dengan keterlibatan tentara yang besar dalam lapangan
sosial-ekonomi dan birokrasi. Metode ini, meski menabrak pakem-pakem
konvensional dalam demokrasi, yang menegaskan pentingnya supremasi sipil dalam
setiap aspek kehidupan, justru perlahan-lahan menunjukkan keberhasilannya dalam
membangun Venezuela.
Dan terakhir, karena Chavez memberikan harapan kepada kita. Perlawanan
terhadap kemapanan globalisasi dan neoliberalisme telah bangkit di
seluruh dunia, meski tanpa konsep alternatif yang dapat menjadi konsensus
bersama. Naiknya Chavez adalah jawaban bagi kelemahan penting gerakan anti
globalisasi: bahwa program-program alternatif hanya dapat diwujudkan saat
kekuasaan politik ada dalam genggaman. Di saat mayoritas pemimpin Amerika Latin
menerima dengan diam superioritas ekonomi AS dan sekutunya, Chavez tampil.
Bukan hanya memberikan kritik dan menolak model ekonomi yang eksploitatif dan
dominan, namun juga mengambil alih kekuasaan dan menggunakannya untuk
kemakmuran rakyat.
Lalu, apa yang membuat sebuah biografi politik menjadi menarik, dan perlu?
Apa yang membuatnya seakan-akan tampil sebagai satu kalender perjalanan, bukan
saja dari seorang tokoh, tapi juga sebuah bangsa?
Hugo Chavez adalah bintang baru di benua Amerika Latin, kontinen yang kaya
akan tradisi pemberontakan militer, gerakan kiri dan tentu saja kemiskinan.
Setelah Juan Peron, Velasco Alvarado, Salvador Allende dan Fidel Castro,
tradisi gerakan nasionalisme kiri Amerika Latin tampaknya akan terus berjalan
dengan terpilihnya Chavez sebagai presiden di tahun 1998, terlepas dari
kegusaran Washington terhadapnya.
Sebagai jurnalis, koresponden dan editor surat kabar The Guardian,
Richard Gott menulis dan melaporkan Venezuela dari beragam sudut, seakan akan
dalam satu saat dia hadir di beberapa tempat sekaligus. Studinya yang mendalam
tentang gerakan revolusioner di Amerika Latin sejak 1960-an, menghadiahi kita
sebuah bonus dalam membaca biografi Chavez: pengertian yang utuh dan lengkap
tentang Venezuela
dan Amerika Latin. Sejarah gerakan kemerdekaan Amerika Latin, kemiskinan dan
krisisnya adalah pisau yang memahat jalan bagi sejumlah tentara populis untuk
mengambil alih kekuasaan. Kolonel Chavez, adalah produk langsung dari sejarah
kontinennya, buah dari tradisi patriotik kemiliteran yang diwarisi dari
pahlawan-pahlawan kemerdekaan mereka sendiri. Karenanya Chavez, dalam hal ini
bukanlah sang pemula. Ia hanya seorang pemimpin yang berani mengambil tradisi
terbaik dari perjalanan bangsanya, dan mengasahnya sebagai pedang melawan
dominasi ekonomi negara-negara maju abad ini.
Havana-Caracas-Havana
Buku ini dibuka dengan kunjungan Chavez ke Havana
dan ditutup juga dengan lawatan ke Havana.
Mungkin Gott ingin menunjukkan bahwa Fidel Castro kini tidak sendirian lagi
dalam merongrong AS dari Amerika Latin. Ada Chavez yang juga gigih menyerukan
pentingnya menolak pasar bebas AS dan kedaulatan ekonomi negeri Amerika Latin.
Gott menggambarkan cukup detail persahabatan antara senior-junior ini. Mereka
sama-sama menjadi popular berkat kudeta yang gagal di tahun 1953 dan 1992, dan
juga sama-sama dipenjara beberapa tahun sebelum akhirnya berhasil berkuasa.
Keduanya sama-sama hobi baseball, gemar cerutu dan senang mengutip
slogan-slogan revolusioner.
Meski demikian, proyek Revolusi Venezuela terbukti berbeda dari
yang dilakukan Kuba. Venezuela,
menurut Gott, memiliki tradisi demokrasi yang jauh lebih mendalam daripada
Kuba. Dan tradisi itu tidak pupus dengan naiknya seorang kolonel sebagai orang
nomor satu. Dalam satu setengah tahun pertama kekuasaannya, pemerintah Chavez
telah melaksanakan dua referendum dan dua pemilihan umum, dimana pendukungnya
memenangkan kursi mayoritas di Majelis Nasional.
Chavez juga berbeda dari Castro, atau Allende di Chili atau gerakan
Sandinista di Nikaragua dan Zapatista di Mexico, yang semuanya menganggap
penting keberadaan partai politik atau serikat buruh/tani. Kemenangan Chavez,
baik dalam pemilu, kudeta tahun 2002 maupun referendum, bukanlah bersandar pada
struktur politik yang mapan dan terorganisasi. Meskipun Chavez membentuk The
Fifth Republic Movement dan Bolivarian Revolutionary Movement untuk
menyokong kampanye politiknya, namun kelompok ini sesungguhnya merupakan wadah
politik grass root yang longgar. Kemenangan Chavez sesungguhnya ditopang
oleh barisan kaum miskin perkotaan yang tak terorganisasi, para pekerja sector
informal dan tentu saja, tentara. Menurut Gott, mobilisasi para pendukungnya
selama ini lebih mengutamakan komite-komite ad hoc dan semi militer,
ketimbang kemapanan struktur dan kepatuhan ideologis.
Ini sangat menarik. Meskipun Chavez memiliki program-program yang
berkarakter kiri, namun tindakannya sepenuhnya terlepas dari struktur politik
apapun. Menurut Gott, ini disebabkan oleh kejengkelan Chavez pada partai
politik tradisional, akibat korupsi ataupun ketidakefektifan mereka dalam
membangun dukungan dari grass root. Saat naik panggung, ia terobsesi
menciptakan a clean break from the past, dimana partai-partai itu
dlihatnya sebagai unsur yang mewakili sistem politik masa lalu. Apalagi serikat
buruh terbesar dan tertua di sana,
CTV, mayoritas beranggotakan buruh kerah putih dan pekerja minyak, yang merasa
lebih dekat kepada pihak pengusaha ketimbang pada sesama buruh.
Seberapa mampukah sebuah kekuasaan dapat bertahan tanpa ditopang oleh
sebuah struktur politik yang terorganisasi baik? Seberapa efektifkah ia dapat
menjelaskan program-programnya kepada rakyat? Mobilisasi setengah spontan dan
mengandalkan momentum politik memang dapat tampil sangat heroik dan militan.
Namun kudeta terhadap Chavez oleh kaum oposisi militer dan sipil di tahun 2002,
yang berujung pada referendum di bawah pengawasan Carter Center,
menunjukkan bahwa spontanitas dan grass root yang longgar tidak cukup
untuk mengendalikan kekuasaan dalam jangka panjang.
Program-program ekonomi Chavez sangat menakutkan para konglomerat dan
kalangan pro-pasar Venezuela,
sementara AS mustahil akan tinggal diam melihat hegemoninya diinjak-injak oleh
Chavez. Dengan semakin intensifnya program-program populis Chavez, konflik
antar kelompok kaya dan miskin akan kian tajam, yang berpotensi besar memberi
jalan bagi upaya penggulingan atau sabotase ekonomi berikutnya. Langkah
antisipasi bagi Chavez bukan hanya dengan mempercepat realisasi program-program
kesejahteraannya kepada rakyat, namun juga mengorganisasikan mereka ke dalam
sebuah wadah yang lebih solid dan permanen.
***
Buku karya Gott ini tidak sekedar menceritakan perjalanan hidup Chavez
semata, melainkan tentang sosok pemimpin yang dicintai rakyatnya; yang lahir
dari situsi-situasi sosial serta sejarah tanah airnya. Dari buku ini
terjelaskan pula bahwa dinamika perjuangan rakyat dengan tantangan di setiap
zaman lah yang melahirkan para pemimpin progresif. Di antaranya tergambar
proses nasionalisasi ekonomi Venezuela
yang telah dimulai sejak dekade 70-an di bawah Presiden Carlos Andrez Perez. Di
saat-saat sentimen anti kolonialisme dunia ketiga mulai memudar, Andrez Perez
justru melakukan serangkaian tindakan berani. Beberapa perusahaan minyak
termasuk Shell dan Exxon dinasionalisasi, dan uangnya dipakai untuk membangun
industri dalam negeri berteknologi tinggi, seperti penambangan besi dan
aluminium, bendungan hidro-elektrik, kompleks-kompleks industri, dsb. Di tengah
serbuan imperialisme yang menghantam Indonesia, buku ini patut menjadi tambahan
referensi perjuangan; bukan hanya karena Richard Gott menulisnya dengan
memukau, tapi juga kemampuannya dalam memberi inspirasi baru tentang proses
menuju dan bagaimana seharusnya kekuasaan rakyat diterapkan.
***