Minggu, 08 Juli 2012

“Membangun Politik Berbasis Kedaulatan Rakyat Menuju Masyarakat NTT Makmur dan Berkeadilan Sosial”




Mereka yang memegang jabatan publik dan mengelola kebijakan untuk masyarakat harus bertanggung jawab kepada masyarakat lewat tindakan yang ditempuhnya.  Memberi statemen saja belum cukup tanpa adanya dasar pertanggungjawaban. Untuk memberikan pertanggungjawaban diperlukan keterangan yang dapat dijadikan basis penilaian. Kedua unsur itu saling melengkapi satu sama lain.
(NN)

A
Gawean lima tahunan sudah di depan mata bagi masyarakat Nusa Tenggara Timur. Tahun 2013 merupakan tahun sibuk bagi para politisi NTT guna terlibat langsung dalam “kontes kecantikan” menuju NTT 1 dan NTT 2. Siapa yang lebih cantik berdandan dan pandai berlenggak-lenggok di atas catwalk pilkada maka dialah yang berpeluang  untuk mendapatkan mahkota juara. Tradisi menjelang pilkada yang lazim dilakukan yakni kumpul-kumpul dengan para tetua dan tokoh ataupun komunitas tertentu sembari melakukan konsolidasi merebut simpati konstituen.
Di tengah kesibukan menyongsong perhelatan ini, media cetak dan elektronik pun tidak tinggal diam dalam berpartisipasi untuk membentuk opini publik. Kondisi demikian hendaknya menjadi pendidikan politik bagi semua lapisan rakyat Flobamora. Pembekalan politik bagi rakyat ini harus secara masif dilakukan guna mengatasi apatisme masyarakat NTT terhadap politik dan juga membangun kesadaran politik mereka.
Kondisi masyarakat yang memprihatinkan saat ini, baik itu kondisi ekonomi dan sosial budaya menyebabkan tingkat kepedulian terhadap dinamika politik berkurang. Masyarakat hanya cenderung dimanfaatkan sebagai objek lima tahunan, dan hal itu hampir tidak disadari oleh masyarakat NTT khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya.
Momentum lima tahunan ini memunculkan beberapa nama yang mulai melakukan manuver politik. Ada yang masih ragu-ragu, ada yang sudah siap maju, ada yang mengaku siap namun belum memiliki pasangan. Semua model ada. Sekarang masyarakat sudah harus pandai membaca situasi ini. Untuk menghadapi euforia politik tingkat lokal ini, setiap komponen masyarakat perlu mencermati berbagai hal untuk menjaga agar kepentingan rakyatlah yang kemudian terwujud. Bukan kepentingan tim sukses. Bukan kepentingan suku. Bukan kepentingan golongan tertentu. Atau bukan pula kepentingan partai politik tertentu. Kita semua masyarakat NTT hendaknya dibekali dengan pendidikan politik yang memadai guna mengatasi dominasi politik kaum elitis yang sibuk memperebutkan kursi kekuasaan yang seyogyanya adalah kursi kedaulatan rakyat.
Di sisi lain elit politik kita juga tidak boleh memanfaat masyarakat sebagai ladang musiman yang bisa digarap setiap lima tahun sekali. Sesudah itu tidak pernah dilibatkan lagi dalam kebijakan-kebijakan selanjutnya. Haruslah ditekankan bahwa masyarakat bukanlah penghias demokrasi. Kita seyogyanya memberikan pendidikan politik kepada mereka sehingga partisipasinya di kancah perpolitikan benar-benar dilakukan karena atas dasar kesadaran dan sesuai hati nurani.
Rakyat kita sekarang ini sesungguhnya menunjukkan sikap apatisme terhadap yang namanya politik. Selalu dihubungkan dengan hal-hal yang negatif. Padahal yang harus dipahami oleh kita semua bahwa politik itu adalah untuk kemaslahatan masyarakat. Itu yang perlu disadari sehingga peran masyarakat benar-benar harus dibangun. Hal ini memerlukan peran serta semua stakeholder. Kita harus melakukan itu secara masif dari sekarang. Janganlah kita yang lain (tim relawan/tim sukses) sibuk untuk melakukan menabur janji-janji kepada rakyat, tentang pendidikan gratis, kesehatan murah dan terjangkau, peningkatan pelayanan birokrasi dan masih banyak lagi, yang apabila kita kaji dengan seksama sama sekali tidak ada mekanisme operasional yang logis. Hal ini tentu tidak lain dan tidak bukan adalah untuk meraih simpati dari ada konstituen. Ini sudah menjadi habit dalam setiap proses sejenis (Pilkada) dari waktu ke waktu.
Sadar ataupun tidak sadar kondisi inilah yang kemudian menimbulkan sikap ketidakpedulian masyarakat terhadap proses demokrasi. Jika terus berlanjut pola lama ini maka, rusaklah sudah sendi-sendi demokrasi Indonesia dan berdampak pada menurunnya partisipasi politik masyarakat.

Pada akhirnya beberapa pertanyaan reflektif yang perlu diresapi:
1.      Kepentingan masyarakat. Apakah pilkada ini akan dapat menunjukkan bahwa kepentingan masyarakat akan terwujud?
2.      Membangun kepercayaan. Apakah pilkada ini akan berhasil membangun kepercayaan terhadap sistem politik, yakni keyakinan masyarakat atau konstituen bahwa para pemuka politik atau pejabat terpilih akan melaksanakan mandat mereka untuk mewujudkan kepentingan umum?
3.       Pilihan terdidik. Apakah pilkada ini akan memberikan kesempatan kepada pemilih dan kandidat untuk mendefinisikan berbagai isu dan memilih solusi yang tepat bagi berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat? Apakah pilkada itu akan memberi pendidikan kepada warga masyarakat tentang isu-isu penting yang dihadapi oleh masyarakat?

Intinya bahwa proses demokrasi lokalan ini diharapkan mampu membangun kepercayaan mendasar dari segenap warga masyarakat kepada pihak lain (dalam hal ini pemerintah) untuk mengatur semua urusan dan hajat hidup mereka. Kepercayaan mendasar – yang populer disebut “social capital” ini hanya bisa ditumbuhkan dari bawah, yakni dari tingkat grass root. Sebuah kultur demokrasi lokal yang bersemangat, masyarakat madani yang semarak, dan pemerintah lokal yang inklusif merupakan modal dasar bagi terwujudnya demokrasi yang lestari.

like...