Senin, 11 Maret 2013

Belajar dari Seorang Pater Beek


Only The Fight that Count (Hanya Perjuanganlah Yang Menentukan) Menggembleng Kaum Muda: Belajar dari Seorang Pater Beek

Only The Fight that Count (Hanya Perjuanganlah Yang Menentukan)
Menggembleng Kaum Muda: Belajar dari Seorang Pater Beek


Kaum muda adalah pribadi yang penuh dengan potensi. "Berikan saya tiga orang, maka saya akan mengguncang dunia; berikan saya tiga pemuda, maka saya akan mengubah dunia," kata Soekarno. Kaum muda (Katolik) adalah entiti Gereja yang menjadi tulang punggung Gereja. Dalam waktu 10-20 tahun ke depan, mereka adalah kepala keluarga Katolik, ibu dari anak-anak Allah, Ketua Lingkungan, anggota Dewan Patoral Paroki, dan bahkan Pastor. Pentingnya pembimbingan kaum muda Katolik juga membawa tantangan tersendiri. Tantangan inilah yang perlu diatasi, demi masa depan Gereja Allah. Solusi yang saya tawarkan adalah: Kaderisasi.

Seorang Pater Beek SJ dan Khasebul
Pater Beek, SJ atau lengkapnya Pater Josephus Gerardus, SJ adalah seorang imam Yesuit kelahiran Belanda. Lahir tahun 1917 dan meninggal tahun 1983. Semenjak memasuki tahun novisiat 2 (1937) dia tinggal dan selanjutnya berkarya di Indonesia. Karyanya yang paling fenomenal adalah menggembleng kaum muda dengan Program Khasebul.

Khasebul atau khalwal sebulan adalah progam pendidikan para kader pemimpin. Terinspirasikan Yesus yang memilih dua belas rasul, para kaum muda yang dididik dalam Khasebul inilah calon-calon pemimpin Gereja maupun juga masyarakat. Pater Beek berpendapat bahwa kader adalah orang yang bisa menggetarkan dunia; merombak keadaan masyarakat dengan kelompok kecil; menjadi tulang punggung masyarakat, atau menjadi inti dalam suatu lingkungan masyarakat. Menjadi kader berarti menjadi sesuatu yang lain dari yang lain; keranjingan dalam menjalankan apa yang dipikirkan dalam batas-batas moral dan etika. Inilah jati diri seorang kader menurut pandangan Pater Beek.

Model penggemblengannya didasarkan pada keyakinan dasar Pater Beek bahwa manusia adalah pribadi yang terbangun atas unsur jiwa dan raga. Karena itu penggemblengan seorang pemuda tidak hanya “jiwanya” berupa ceramah-ceramah yang berisi wawasan, atau doa dan meditasi, tapi juga menyangkut aspek fisik yang ketat.

Pembentukan Karakter
Proses penggemblengan setiap hari dibuka dengan Misa pagi kemudian dilanjutkan makan pagi. Sesi selanjutnya berupa ceramah yang bersifat satu arah, briefing, informatif, dan sangat ideologis (Pancasila). Pemateri dari berbagai kalangan yang mempunyai kompetensi: pemerintah, pemimpin partai, pengusaha, dosen, LSM, dan lain sebagainya. Pembentukan karakter ini masih ditambah dengan gemblengan disiplin dan kegiatan olah raga.

Mengenal Diri
Pater Beek menyitir pendapat Sokrates yang mengatakan bahwa untuk dapat siap sedia terlibat di dalam masyarakat, “Kenalilah dirimu sendiri”. Di dalam diri manusia ada potentia untuk menjadi baik (bdk.Rom 7:19). Karena itu Pater Beek berpendapat bahwa seorang kader harus digembleng dengan keras (istilah yang sering digunakan adalah dididik dengan “spartan”) tidak hanya mental tapi juga fisik, sehingga potensi dirinya bisa optimal. Orang tidak cukup menjadi baik (bisa mengasihi diri dan sesamanya), tetapi juga kompeten (memiliki keahlian/ ketarampilan tertentu) sehingga hidupnya berarti.

Pribadi Pemberani
Rasa takut membuat sesorang tidak dapat menjadi pemimpin yang baik, karena seorang pemimpin harus mengambil inisiatif, harus berbuat, sedangkan rasa takut justru melemahkan, bahkan melumpuhkan. Rasa takut harus dipahami dan dirasionalisasikan, karena muncul terutama oleh manusia sendiri yang hanyut dalam bayangannya. Dan bayangan itu bukanlah realitas.

Rela Memanggul Salib
Panggilan seorang kader adalah menjadi seperti Kristus yang mau menderita untuk menebus umat manusia. Pengalaman salib akan menjadi sarana “pendewasaan rohani dan kepribadian”. Dalam mendidik para kadernya, Pater Beek mengikuti pola Latihan Rohani (LR) St Ignatius dari Loyola. Ada tiga nilai yang ditanamkan dalam LR, yaitu: daya ingat untuk hasilkan pengertian yang benar dengan menganalisa situasi, pikiran yang jernih, serta kehendak yang kuat untuk berbuat sesuatu. Selama sebulan itu anak didiknya mendapat semacam kurikulum yang meliputi: (1) Pengenalan diri dan latihan keterampilan, (2) Pengenalan akan tempat (compositio loci, kondisi sosial dan politik), (3) Ajaran atau pemikiran dari para pemikir besar yang mempengaruhi dunia, (4) Spiritualitas yang bersumber dari Kitab Suci.

Hidup Asketik
Kemampuan kaum muda didapat dengan usaha keras dan konsisten, karena itu selama dalam latihan para kader dilatih menghadapi situasi yang sulit, terjepit, dan susah payah, agar potensi yang ada pada dirinya nampak sebagai kekuatan yang handal. Pater Beek mengajarkan kepada para kadernya agar mengadakan value and moral judment (pertimbangan nilai dan moral). Seorang kader di mata Pater Beek adalah seorang pribadi keras, tidak setengah-setengah dan tahan banting. Ia mempunyai kemampuan untuk berinisiatif dan merespon situasi.

Menembus Batas
Kepada para kadernya Pater Beek menanamkan kekatolikan bukan sebatas sebagai agama atau institusi Gereja saja, tetapi lebih-lebih jiwa dan penghayatan akan iman akan Kristus yang nyata dalam diri orang per orang. Teologi Karl Rahner cukup mempengaruhi pandangannya.

Berkomunitas untuk Discernment
Sebagai sama-sama pengikut Yesus, seorang kader tidak menghayati hidup dan panggilan dan kharismanya seorang diri, tetapi bersama dan di dalam kebersamaan dalam kelompoknya. Komunitas juga memungkinkan kader untuk discernment (diskresi) bersama. Untuk itu seorang kader harus selalu bekerja sama dengan orang lain (bdk. Mrk 6:7, “Pergi berdua-dua”), tidak mengandalkan harta benda namun kesaksian hidup, menjadi pemecah masalah (bdk. Mat 11:28), memandang peran sebagai sarana.

Demikianlah nilai-nilai yang Pater Beek ajarkan kepada para kadernya. Tercatat 3.000 orang lebih telah merasakan didikannya. Mereka antara lain: Harry Tjan Silalahi, Jusuf Wanandi, Michael Utama, Rm Eko Budi Susilo Pr, Sr Alexis OSU, dan masih banyak lagi.

Bagaimana Konkretnya?
Proses kaderisasi kiranya juga bisa dimulai sejak dini. Nilai-nilai yang Pater Beek ajarkan juga bisa kita tanamkan melalui hal-hal “biasa” dalam hidup menggereja kita. Menurut St Ignatius Loyola, kita mesti mencari pintu masuk ke mereka, agar kita dapat membawa ke mana kita inginkan. Barang kali semacam usaha untuk memberi kesempatan dan kepercayaan, formal maupun informal, perlu terus menerus diusahakan. Dalam hal ini kita perlu pandai-pandai menciptakan kesempatan kepada orang muda untuk bertemu, saling mengenal, saling mendukung:
1. Mengenali nama mereka satu demi satu.
2. Mengakui keberadaan mereka: mereka riil ada di dalam Gereja.
3. Menyediakan suasana, kemudahan untuk mengakui keberadaannya: membuat acara bersama khusus untuk mereka. Biasanya dengan bungkus musik, sport/seni, film/fun disukai, juga perjumpaan ala kafe, namun isinya tema-tema ajaran Gereja menanggapi persoalan riil.
4. Hadir di antara dan bersama mereka, hadir dan menunggui kala weekend.
5. Tahap-demi tahap memberi mereka tanggungjawab: menyerahkan kepada mereka untuk membuat acara-acara paraki maupun untuk orang muda: Paskah orang muda, welcome party, kemah remaja, 17 Agustus, operet Natal, Imlek, Valentine’s Day, dll.
6. Melibatkan mereka di kancah yang lebih luas, di luar diri mereka: anggota Dewan Pastoral Paroki, melaksanakan acara umat; melibatkan dalam pembuatan website paroki, majalah, face book, dll.

Namun lebih dari pada itu, pendidikan kaderisasi ala Pater Beek kiranya juga bisa menjadi alternatif lagi. Bagaimana kita juga bisa mengoptimalkan pembinaan di asrama-asrama kita? Seminari-seminari? Pendidikan-pendidikan keagamaan (STIPAS, IPI, Kateketik, dll)? Sebuah “PR” bersama.

Sumber inspirasi:
J.B. Soedarmanto, Pater Beek, SJ: Larut tetapi tidak hanyut, Jakarta: Obor, 2008.

(Dikutip dari Blog Keuskupan Banjarmasin)

like...