Rabu, 25 April 2012

Nasionalisme dan demokrasi


Nasionalisme dan praktek demokrasi kita :
Bermitra atau bertentangan?

Dalam pengalaman sejarah kita sendiri, sangat jelas bahwa semangat dan cita rasa kebangsaan itulah yang menghantarkan bangsa ini kepada kemerdekaan, melalui kesempatan untuk membangun sebuah sistem politik yang demokratis. Jika ditelaah dengan cermat substansi ini berisi gagasan yang kompeten di bidang masing-masing. Nilai-nilai kebangsaan, kemerdekaan, dan demokrasi akan terus menyertai perjalanan. Ketiganya terjalin dalam hubungan persenyaaan yang kuat. Kita tidak mungkin mengembangkan demokrasi dan memberi makna pada kemerdekaan di luar bingkai kebangsaan. Demokrasi yang memberi legitimasi kepada kedaulatan rakyat tidak mungkin diekspresikan secara efektif di luar formasi kebangsaan. Kedua nilai kebangsaan dan demokrasi akan kehilangan dinamika hidup, dan demokrasi tanpa nasionalisme akan menjadi liar.
Menjadikan kemerdekaan sebagai pengikat persatuan dan kesatuan bangsa juga membangun etos dan identitas nasional. Kemerdekaan juga harus menjadi alat untuk membangun dan menjaga demokrasi, serta membangu rasa hormat terhadap kebudayaan dan tradisi yang berbeda-beda. Kemerdekaaan harus menjadi alat untuk membangun dan menjaga demokrasi membangun dan mengembangan etos dan identitas nasional, serta alat untuk membangun dan mengambangkan etos dan mementingkan persatuan dibandingkan mementingkan kesukuan. Dalam hal ini yang terpenting adalah kemerdekaan harus dijadikan sebagai alat proteksi terhadap kejahatan, terhadap saudara-saudara di masa mendatang. Harus disadari kejahatan-kejahatan yang pernah kita lakukan di masa lalu, selalu saudara-saudara kita yang selama ini menjadi korban kemudian memberontak dengan mengedepankan simbol-simbol sara.
Dalam berbagai diskusi dan seminar kemudian berkembang dan membentuk opini public bahan nilai-nilai primodialisme haruslah dikikis, dieliminir basis-basis dan pengaruhnya sebab sangat berbahaya. Nilai-nilai primordial sendiri menunjukan pada semangat kelompokisme, daerahisme, agamaisme, termasuk yang tergolong primordialisme baru (Neo Primordial) berupa adanya kelompok-kelompok cendikiawan yang terbentuk dalam beberapa tahun terakhir. Semangat nasionalisme yang kuat, dalam sejarah misalnya terbentuk satu organisasi kedaerahan untuk tujuan perjuangan kemerdekaan, justru menjadi cambuk bagi pemuda-pemuda dari daerah atau suku lain. Maka mereka membangun semangat gerakan bersama, untuk mempersamakan visi dan persepsi gerakan nasional maka tidak heran kalau perkumpulan kedaerahan mewujudkan inisiatif berupa kongres pemuda kesatu tahun 1926 dan kedua tahun 1928 yang kemudian melahirkan sumpah pemuda dan menjadi symbol persatuan dan kejuangan pemuda hingga saat ini.
Organisasi-oraganisasi keagamaan tak kala perannya memberikan semangat nasionalisme baik dalam perjuangan menuju kemerdekaan maupun dalam memepertahankan kemerdekaan Indonesia. Organisasi-oraganisai keagamaan ini, saling mendukung dengan organisasi yang bersifat nasionalis misalnya antara Boedi Utomo dan Serikat Islam secara tegas menentang penjajahan meskipun berbeda alasan yakni  kalau Boedi Utomo menentang pejajahan karena pemerintahan asing maka, Serikat Islam menentang penjajahan karena pemerintahan orang-orang kafir. Dengan berbagai cara semangat nasionalisme terus dikumandangkan sambil ikut menjadi pemain dalam pasar bebas Internasional. Sedangkan semangat atau sifat nasionalisme muncul dari pemberontakan terhadap penjajah, lalu membentuk dirinya sebagai nasionalisme defentiv. Konsep ini secara inplisit dalam bangunan falsafah Negara, bahwa kita mutlak tidak mentoleril segala bentuk ekspansi penjajahan sebab tidak manusiawi dan karenanya penjajahan harus dilenyapkan di muka bumi. Sebagai bangsa yang perna dijajah, alasan tersebut bukan saja benar secara logis, tetapi juga wajar secara psikologis. Konekuensinya, kita harus tetap mempertahankan kemerdekaan walau bukan artinya pasif sama sekali dengan urusan bangsa lain. Kenyataan kita adalah bagian dari apa yang disebut Negara pasca kolonial yang dengan negara-negara lain didalamnya membangun kepentingan kolektif, walaupun kemudian kedengaran agak tak sedap diberi lebel negara-negara berkembang.
Dewasa ini Negara Republik Indonesia berada dalam era transisi dari suatu Negara yang berpemerintahan kuat  dengan derajat partisispasi rakyat lemah, menuju suatu Negara demokrasi. Ciri dari suatu Negara demokrasi antara lain adalah besarnya partisipasi rakyat terhadap kinerja pemerintahannya. Partisipasi yang aktif bukan saja harus digalakan dan dibina secara terus-menerus tetapi juga harus berjalan di atas rel akademis sehingga tidak terjebak ke dalam alam anarkhi yang dapat menghancurkan system demokrasi itu sendiri. Pemerintahan yang demokratis adalah pemerintahan oleh rakyat dan untuk rakyat. Keadaulatan tertinggi berada di tangan rakyat. Pemerintahan mengidentifikasikan dirinya sebagai pemerintahan yang demokratis, maka rakyat baik melalui referendum maupun para wakilnya di lembaga legislative, harus memiliki kewenangan untuk mengubah konstitusi yang merupakan sumber hukum tertinggi di Negara kita. Dari  defenisi tersebut jelas tersirat pentingnya pengakuan partisipasi rakyat dalam setiap pemerintahan yang demokratis. Kehendak rakyat untuk melakukan perubahan terhadap konstitusi harus didasarkan atas pertimbangan yang komperensif.
Secara empiris, chek and balance atau yang sering disebut balancing of power ada salah satu dari dua alternative solusi munculnya suatu hegemoni. Artinya suatu pemerintahan sebenarnya memiliki kecenderungan untuk mendapatkan kekuasaan yang hegemoni. oleh karena itu   salah counter measure yang cukup efektif untuk menetralisir kekuasaan ini adalah dengan memberdayakan legislative dan yudikatif di samping masyarakatnya sendiri, sehingga terjadinya equibrium pembagian kekuasaan yang akan melahirkan suatu stabilitas riil. Pilar utama demokrasi yakni pemisahan kekuasaan, mensyaratkan adanya ingkat kecerdasan bangsa sehingga mampu membawa keseimbangan kewenangan antara legislative, eksekutif dan yudikatif ke arah mantapnya ketahanan politik. Dalam sejarah politik dunia, pada Negara-negara yang kecerdasan kehidupan atau tingat kebudayaan atau totalitas tata nilai kemasyarakatannya rendah, berkembang subur system Monarki absolute, dimana kekuasaan politik berpusat di tangan Raja atau Ratu. Demikian pula dapat subur berkembang system otoriter fasis dimana kepala Negara mendominasi kekuasaan atau juga system komunis dimana kekuasaan politik terkonstrsi di tangan partai.
Satu hal penting yang hilang dari semua sistem tersebut adalah tidak adanya power sharing. Terjadinya power sharing, selain dapat dilakukan melalui penyelenggaran pemilihan umum yang bebas, terbuka dan jujur, juga melalui berbagai koreksi masyarakat secara langsung. Inilah wujud partisipasi politik rakyat yang sebenarnya. Pemilu saja belum cukup untuk  mencerminkan partisipasi politik rakyat. Mengapa? Pemilihan umum bertujuan memilih wakil-wakil rakyat untuk didudukan dalam lembaga legislative. Jhon Naisbitt dalam The global paradogs mengemukakan  betapa masyarakat semakin terkooptasi untuk menyerahkan system direct demokrasi. Pasalnya, wakil-wakil rakyat yang ada di legislative sendiri sebenarnya lebih banyak dipandang sebagai symbol.
(Materi PP PMKRI St. Thomas Aquinas Jakarta)

like...