Apakah Filsafat Itu..?
Dari saya, kalian tidak akan belajar filsafat. Saya mengajar
kalian berfilsafat. Bukan pemikiran-pemikiran untuk ditiru, akan tetapi
bagaimana caranya berfikir sendiri” (Imanuel Kant)
Apakah Filsafat itu? Banyak ragam jawaban yang bisa diajukan
untuk menjawab pertanyaan ini.
“…filsafat adalah tidak lebih dari suatu usaha
untuk…menjawab pertanyaan-pertanyaan terakhir, tidak secara dangkal atau
dogmatis seperti yang kita lakukan pada kehidupan sehari-hari atau bahkan dalam
kebiasaan ilmu pengetahuan. Akan tetapi secara kritis, dalam arti: setelah
segala sesuatunya diselidiki problem-problem apa yang dapat ditimbulkan oleh
pertanyaan-pertanyaan yang demikian itu dan setelah kita menjadi sadar dari
segala kekaburan dan kebingungan, yang menjadi dasar bagi pengertian kita
sehari-hari…” (Bertrand Russel)
“Filsafat adalah pencarian akan jawaban atas sejumlah
pertanyaan yang sudah semenjak zaman Yunani dalam hal-hal pokok yang tetap sama
saja. Pertanyaan-pertanyaan mengenai apa yang dapat kita ketahui dan bagaimana
kita dapat mengetahuinya; hal-hal apa yang ada dan bagaimana hubungannya satu
sama lain. Selanjutnya mempermasalahkan pendapat-pendapat yang telah diterima,
mencari ukuran-ukuran dan menguji nilainya; apakah asumsi-asumsi dari pemikiran
ini dan selanjutnya memeriksa apakah hal-hal itu berlaku. (Alfred Ayer)
“Filsafat adalah perang sabil terhadap pesona dengan apa
bahasa mengikat pemikiran saya” (Wittgenstein)
Wah, jawaban-jawaban di atas begitu mewah dan dalam beberapa
hal susah untuk dimengerti. Marilah kita mencoba mencari gambaran lain yang
lebih renyah dari Van Peursen:
“Peristiwa-peristiwa dalam hidup keseharian sering kita
tanggapi sebagai sesuatu yang serba biasa, yang tidak menimbulkan rasa heran
atau kagum. Berulangkali telah kita lihat bagaimana bunga pohon jambu
berguguran sebelum menghasilkan buahnya. Sampai pada suatu ketika sekuntum saja
yang dengan perlahan-lahan melayang ke bawah menimbulkan semacam rasa heran
dalam hati kita. Apa artinya gejala ini, apa maknanya pohon jambu sebelm
berbuah menaburkan bunga-bunganya? Adakah semuanya ini terjadi dalam kerangka
yang lebih luas [tidak hanya pada pohon jambu, namun juga pada manusia]…Dan
terpaparlah refleksi menusawi, ia mulai termenung. Dengan bercermin pada
peristiwa pada peristiwa biasa (bunga jambu berguguran) ia menemukan
introspeksi atau mawas diri dan dalam bungan bunga gugur itu ia menemukan jejak
perjalanan dirinya sendiri, ia seperti melihat perjalanan dirinya yang demikian
tidak menentu. Termenung. Saat itulah, ia mulai menjadi seorang filsuf!”[1]
Peursen mengaitkan filsafat dengan rasa heran. Filsafat
sebagai hasrat akan kebijaksanaan akan tumbuh dalam diri manusia ketika manusia
dihinggapi oleh rasa kagum dan rasa heran. Rasa heranlah yang membuat manusia
berbeda dengan binatang atau tumbuhan. Binatang secara umum menganggap dunia
kehidupannya sebagai biasa-biasa saja, tetapi manusia seharusnya tidak. Rasa
biasa hanya pada permulaannya saja, terutama ketika kehidupan sudah demikian
mekanis. Maksudnya, ketika seluruh kegiatan kita dilakukan secara begitu saja:
bangun pagi, shalat subuh, pergi ke kampus/kantor, siangnya pulang, istirahat,
menonton TV, lalu tidur dan bangun esok harinya dengan cara sama. Namun selalu
ada saat istimewa yang membuat kita terhenyak dan membuat kita keheranan,
seperti gugurnya bunga jambu itu. Rasa heran muncul pada saat membayangkan
gugur pohon jambu itu adalah saya, yang juga gugur beru1langkali tanpa
menghasilkan buahnya. Saat itulah saya menanyakan makna dan sebab. Apakah saya
tak lebih dari bunga jambu? Apakah saya rela terus mengalami keguguran sebelum
menghasilkan buah? Rasa heran mematahkan belenggu rasa biasa sekaligus
menyadarkan bahwa manusia harus lebih dari sekadar pohon jambu.
Hidup manusia tak boleh sekadar mengulangi kegiatan yang
sama. Ada banyak kegiatan yang kita anggap biasa-biasa, membuat kita enggan
mengubahnya. Kita terkurung di dalamnya yang akhirnya kita tak pernah menjadi
apa-apa atau siapa-siapa. Kita menjadi tawanan dari kebiasaan kita. Situasi ini
sangat menyedihkan, karena sebagai manusia kita tak sekadar menempati ruang
kehidupan. Lebih dari itu, kita berkewajiban untuk berkarya, memberi warna pada
dunia.
Bila kita mulai menyadari inti kemanusiaan sebagai pemberi
warna kehidupan, kita akan mengambil jarak terhadap hal ihwal sehari-hari.
Dengan memperhatikan secara seksama, kita mengamati tindakan-tindakan yang
telah dianggap: biasa saja, sudah seharusnya begitu, dan begitulah yang
sebenarnya.
Istilah filsafat berkaitan dengan rasa heran itu,
Aristoteles menyatakan bahwa rasa heran merupakan nenek moyang (arkhe)
dari “hasrat akan kebijaksanaan” (philosophia). Istilah filsafat dalam
khazanah kesusasteraan Yunani lama juga berkaitan dengan kegiatan manusia yang
“melihat segala sesuatu dengan perhatian dan minat”; atau
“berpikir tentang segala sesuatu dan menyadarinya”. Kemudian istilah ini
berkembang bahwa manusia mulai bermenuh mengenai hal-hal biasa dan kemudian
mengenai hal-hal yang lebih luhur lagi. Filsuf Heraclitos, orang yang pertama
kali menggunakan istilah “filsuf” menyatakan bahwa Tuhanlah yang dapat disebut
kebijaksanaan. Namun Plato menegaskan kebalikannya,
“Para dewa tidak dapat disebut sebagai filsuf, mereka sudah
memiliki kebijaksanaan, segala kebijaksanaan; hanya manusialah yang mendambakan
kebijaksanaan karena ia tidak pernah dapat meraih kebijaksanaan dengan
sepenuhnya”.
Kembali lagi pada pertanyaan Apa itu
Filsafat? Kembali dikutipkan Van Peursen:
“Saya kira bahwa filsafat atau lebih tepatnya berfilsafat,
pertama-tama adalah penjelasan dari pandangan kita sendiri. Kedua adalah suatu
ikhtiar untuk dapat melakukan komunikasi secara dalam dengan kenyataan. Yaitu
suatu komunikasi yang sanggup merelatifkan pandangan-pandangan dasar kita
mendasar atau pandangan kita sendiri, serentak menempatkan tanda tanya di
belakangnya. Lewat berfilsafat kita berusaha untuk meneruskan komunikasi
keseharian yang telah lama terputus oleh perasaan biasa saja. Berfilsafat
adalah suatu komunikasi yang menghapuskan kesalahpahaman dan yang berusaha
untuk menghilangkan hal-hal yang sudah semestinya, yang terlalu emosional. Dan
ketiga, adalah integrasi dari pemikiran-pemikiran yang terlalu teoritis dan
tindakan-tindakan yang lebih praktis …filsafat mempunyai tugas menyumbang
untuk menjelaskan sikap manusia yang menyeluruh, di antaranya sikap
keagamaannya, etikanya, sosialnya dan semacam itu…Filsafat bukanlah hanya
integrasi dan komunikasi, akan tetapi pembentangan asumsi-asumsi sendiri dan
kesediaan untuk dikritik. Soalnya adalah memberikan kesempatan kepada orang
lain untuk mencantumkan tanda tanya di belakangnya…”
Mencantumkan tanda tanya di belakang segala hal-hal yang
kita anggap sudah semestinya, yang terlalu emosional kita terima sebagai benar
tak terbantahkan. Itulah Filsafat, lebih tepatnya berfilsafat.
***
“…saya dianggap seorang filsuf. Itu adalah semacam seorang
udik yang cerdas, yang dengan mulut menganga dan mata terbelalak melihat
barang-barang yang oleh orang-orang “bijaksana” dianggap sebagai sesuatu yang
sudah semestinya; seorang udik yang selalu berperasaan bahwa fakta-fakta yang
paling nyata dari kehidupan keseharian sebenarnya sangat aneh…”
Tulisan itu dikutip dari Alan Watts, filsuf Amerika, yang
mengemukakan suatu mentalitas berpikir. Menjadi filsuf berarti tidak sok tahu,
atau merelakan diri sebagai “selalu orang baru”. Tak ada yang biasa-biasa.
Semua kejadian, benda-benda, orang-orang yang ditemui selalu khas, unik dan
membawa kabar akan kearifan. Filsafat yang sering didefinisikan sebagai “cinta
akan kearifan” menceritakan suatu kegiatan seorang kekasih yang mabuk cinta.
Seperti dalam kisah Layla Majenun, Qays si penggila Layla pada puncak
kangennya selalu curiga bahwa di segala tempat bahkan pada angin yang
menghembus ada jejak dan pesan dari Layla. Qays menemukan Layla di mana-mana,
demikianpun dengan filsuf: ia menganggap di segala hal ada kearifan dan tidak
percaya bahwa semuanya berlangsung begitu saja.
Kenyataan keseharian bukan berlangsung begitu saja, namun
memiliki pesan dan jejak dari kebenaran/kearifan yang kita kangeni. Rasa kangen
dan hasrat untuk bertatap muka membuat kita selalu memperhatikan dengan
perasaan heran dan kritis: mengapa benda-benda itu ada dan mengapa benda-benda
itu demikian? Apakah tujuan, arti, maksud, serta nilai benda itu? Hasrat untuk
menemui kebenaran membuat kita mau menghubungkan semua kenyataan yang kita
temui.
Mengajukan pertanyaan itulah cara awal dari berfilsafat.
Hanya saja pertanyaan yang diajukan, bukan interogasi macam penyidikan polisi
atau pemeriksaan jaksa di pengadilan. Pertanyaan yang diajukan adalah
pertanyaan orang udik atau pertanyaan kanak-kanak balita.
“Para filsuf seperti anak-anak di bawah usia lima tahun…”Di
samping segala perbedaan di antara mereka, para filsuf memiliki suatu ciri khas
yang sama, yang barangkali sekaligus dapat berfungsi sebagai kriteria yang
menentukan untuk pertanyaan: apakah ia akan kita namakan seorang filsuf? Ciri
khas itu berupa kebiasaan untuk terus bertanya: mengapa sesuatu itu demikian
atau mengapa sesuatu itu dianggap saling bertentangan. Pokoknya pertanyaan
sebagaimana ulahnya anak-anak…”[2]
Pertanyaan kanak-kanak, menurut Edward de Bono, bermula dari
kata: mengapa? Kemudian berkembang menjadi mengapa tidak begini,
mengapa tidak begitu. Lalu setelah dewasa berkembang menjadi perumusan
kenyataan dalam bentuk jawaban oleh karena itu, suatu jawaban yang
mewarnai kehidupan manusia dewasa yang melulu menyatakan bahwa semuanya biasa
saja dan sudah semestinya demikian.
Segalanya telah disusun, diatur dan disimpan, dilengkapi
dengan etiket dan merek-merek. Hampir tak ada, atau sama sekali tidak ada
masalah lagi. Maka tak ada lagi tempat bagi rasa heran dan takjub, orang dewas
sudah tahu semuanya. Tapi tidak bagi kanak-kanak. Kanak-kanak melihat kehidupan
dengan mata bening, suatu kualitas cara memandang yang kemudian disadari oleh
para filsuf. Kesadaran yang mendorong semua filsuf untuk membersihkan cara
pandang dewasanya, “…apabila kita membersihkan jendela-jendela pengamatan kita,
maka setiap hal akan muncul kembali di hadapan kita sebagai keadaan
sebenarnya”.[3]
Kanak-kanak dapat melihat kenyataan sebagai keadaan
sebenarnya, inilah yang ingin dicapai para filsuf. Sebagai ilustrasi berikut
dikutipkan cerita yang menunjukkan perbedaan prang dewasa dan kanak-kanak.
Seorang anak bertanya, “Papa kenapa anak-anak itu bekerja di
kebun dan aku tidak?”.
Anak itu berumur 6 tahun. Ayahnya punya perkebunan luas di
daerah Florida, Amerika Serikat. Di kebun itu banyak buruh dipekerjakan, juga
anak-anaknya. Anak 6 tahun ini tentu tidak dipekerjakan, tapi ia
menyaksikan dan membandingkan untuk kemudian bertanya, “mengapa?”.
Pertanyaan itu tak berhenti di situ.
Di umurnya yang ke-12 si anak menulis dalam pelajaran
mengarang di sekolahnya:
“Aku sebenarnya ingin, orang-orang yang bekerja untuk kami
sekeluarga bersikap berteman kepada kami. Sekarang, mereka takut pada ayah.
Mereka takut kepada para mandor… Harus kuakui: aku kira mereka juga takut
kepadaku. Bila aku datang ke dekat mereka dengan sepedaku, mereka pun berhenti
berbicara, dan mereka bekerja sangat keras dan mereka berkali-kali memandang ke
arahku, melihat apakah aku masih tetap di situ”.
Suatu hari yang lain, anak itu menggambar langit, sebuah
lanskap dan sebuah matahari. Matahari itu amat besar. Di bawah bola yang
menyala-nyala itu dilukiskannya para buruh bekerja memetik di kebun. Melihat
itu, ayahnya merengut, “Matahari itu terlalu dibesar-besarkan,” gerutunya. Papa
itu memang merasa anaknya kian kritis kepada keadaan di sekitarnya.[4]
Anak-anak dalam cerita itu bertanya “kenapa” dan bapaknya
menjadi gusar. Orang dewasa menyebutnya “terlalu dibesar-besarkan”. Dan semua
anak-anak, kaya dan miskin, seperti itu rupanya. Pada kisah yang lain yang
disusun Coles, seorang Ibu Chicano di Texas mengemukakan, “Ketika anak-anak,
saya masih kecil saya mencoba sedapat saya membuat mereka senang. Terkadang,
sementara saya memeluk mereka, saya berkata kepada diri saya sendiri: tak lama
lagi si kecil ini akan tahu tentang Texas…Yang paling celaka ialah bila
anak-anak itu mulai bertanya: mengapa. Saya mencoba mencegahnya. Saya katakan
kepada mereka, sudah, jangan bertanya-tanya begitu. Saya tak tahu kenapa
orang-orang itu berada di atas dan kita berada di bawah…”[5]
Aih, betapa lalimnya menjadi orang dewasa, betapa
pengecutnya. Kesadaran akan kebebalan orang dewasa dan penyesalan terhadapnya
merupakan awal dari perbaikan kemanusiaan. Namun kembali menjadi kanak-kanak
tentu saja tidak mungkin, terlebih kanak-kanak juga memiliki kelemahan: tidak
konsisten dan kurang berpikir sistematis. Maka menjadi filsuf (atau berpikir
seperti filsuf) adalah jawabannya.
Menjadi seperti kanak-kanak adalah ikhtiar untuk kembali
menemukan kebeningan kita, tapi itu tak gampang dan mungkin saja tidak bisa
dilakukan. Yang paling bisa dilakukan adalah pencapaian keheningan dari
kesibukan kita yang bertubi-tubi. Menjadi filsuf, sebagai kesadaran bahwa kita
tak lagi sebening kanak-kanak, berarti mengikhtiarkan suatu keheningan dan
menganggap hiruk pikuk sebagai kerangkeng yang membuat kita tidak manusiawi.
Keheningan menjadi barang langka, dan harus diupayakan agar kita bisa menemukan
dunia kehidupan kanak-kanak. Jadi hal pertama yang harus dimiliki seorang
filsuf adalah takjub berkeheningan.
Menjadi filsuf, sebagai ikhtiar membeningkan cara
pandang, dimulai dengan pengakuan akan kebebalan, seperti
dikemukakan Socrates saya tahu bahwa saya tak tahu apa-apa. Lewat
kesadaran inilah kemudian kita berusaha untuk memahami kata-kata,
memahami kembali peristiwa-peristiwa dan kebiasaan-kebiasaan yang sudah
dianggap lazim. Pengakuan akan kebebalan secara otomatis akan menggiring
kita pada kesadaran cinta pada kearifan, pada kebenaran. Suatu kecintaan
yang akan mengarahkan kita untuk tidak sekadar menjadi kanak-kanak yang terus
bertanya dengan sedikit rasa tanggung jawab.[6]
Kaitan antara keempat sikap dan tujuan berfilsafat ini
(takjub berkeheningan, pemahaman kata-kata, pengakuan kebebalan, dan cinta
kealiman) berhubungan dengan empat unsur utama dalam filsafat. Dua unsur
pertama bersifat teoretis, yaitu metafisika dan logika. Sedang dua unsur
lainnya bersifat praktis, yaitu ontologi dan Ilmu. Berfilsafat adalah
mengajukan pertanyaan, dan pertanyaan menjadi dasar dari keempat unsur filsafat
ini:
- Metafisika : Apa yang merupakan realitas puncak?
- Logika : Bagaimana kita memahami makna kata-kata?
- Ontologi : Apa Makna ada?
- Ilmu : Di mana garis batas pengetahuan?
Wilayah Metafisika merupakan cara untuk menghasilkan pengakuan
kebebalan, Ilmu untuk cinta kealiman, Ontologi untuk takjub keheningan,
dan Logika untuk pemahaman kata-kata.
Mari kita buat pembagiannya yang saling berkaitan:
- Takjub berkeinginan (Ontologi: Apa maknanya ada?)
- Cinta Kealiman (Ilmu: Di mana garis batas pengetahuan?)
- Pengakuan Kebebalan (Metafisika: Apa itu realitas puncak?)
- Pemahaman kata-kata (Logika: Bagaimana memahami kata-kata?)
***.
DARI manakah pertanyaan-pertanyaan dapat muncul? Dari rasa
heran.
Siapapun yang dengan perhatian secara terbuka tanpa
prasangka dalam melihat segala sesuatunya, akan mengalami kemunculan rasa
heran. Belajar berfilsafat pada taraf tertinggi adalah: belajar merasa heran.
Rasa heran menyebabkan orang tersentak bangun dan mulai memeriksa kembali apa
yang sebelumnya dianggap biasa-biasa saja. Rasa heran berarti suatu keterbukaan
ketika menemukan bahwa apa yang sebelumnya dianggap lumrah ternyata menunjukkan
hal-hal di luar dugaan. Pada saat ini, muncullah pertanyaan-pertanyaan terhadap
keyakinan lama.
Rasa heran adalah nama lama untuk perhatian yang
menakjubkan, yang menyebabkan seseorang melihat sesuatu di dunia sebagai suatu
pertanyaan yang mengasyikkan. Pada rasa heran ini dapat dibedakan unsur-unsur
berikut ini: 1) Obyek yang menyebabkan keheranan saya itu berhadapan dengan
saya sebagai sesuatu yang sama sekali tidak dapat saya pahami; sesuatu yang
asing; sesuatu yang secara menakjubkan atau menakutkan memaksa saya untuk
bertanya-tanya. Sesuatu yang semula biasa-biasa saja menjadi tampak misterius,
sehingga pengetahuan sebelumnya menjadi tidak bisa digunakan lagi. 2) Perbedaan
antara rasa tahu dan rasa aneh merupakan suatu keasyikan tersendiri. Realitas
yang tiba-tiba saja tidak lagi bisa dikenali menghidupkan semangat untuk dapat
mengetahuinya lagi dan lagi.
Rasa heran kemudian melahirkan pertanyaan-pertanyaan yang
mengarahkan kehidupan manusia, si penanya.Dengan pertanyaan itu terbukalah
deretan yang menjuruskan rasa heran itu ke arah mengetahuinya, memahaminya.
Apakah setelah itu rasa heran jadi punah. Mengetahui dan memahamin belum
berarti memusnahkan rasa heran. Dalam kegiatan bertanya-tanya, rasa heran terus
memuncak-muncak. Setiap dapat satu jawaban, jawaban itu harus menjadi obyek
dari perhatian yang mendalam dan terkonsentrasi. Jadi dalam rasa heran dan
dunia pertanyaan, setiap jawaban selalu memberi peluang untuk ditanyakan lagi.
R. Beerling menyatakan kait kelindan ini dalam ungkapan,
“Jawaban yang sebenarnya atas pertanyaan-pertanyaan mengapa
selalu terbuka lagi untuk ditinjau kembali.., jawaban itu selalu bergeser lagi
ke arah kaki langit. Apabila kita menemukan sesuatu yang dahulu tidak dikenal,
maka akan timbul lagi hal-hal tak dikenal yang baru”.[7]
***
APAKAH rasa heran muncul begitu saja? Tidak, rasa heran akan
muncul begitu kita mau memberikan perhatian terkonsentrasi pada segala hal.
Seorang pelaut yang sudah tak memiliki kapal, terdampar di
sebuah pulau asing. Setelah lelah dipermainkan ombak dan badai, terpaksan
terbangun karena jeritan seekor bung Beo. Bukan karena kerasnya suara burung
itu, tapi karena kalimat yang diulang-ulangnya, “perhatian-perhatian, di
sini dan sekarang…di sini dan sekarang!” Pelaut itu takjub, dan bertanya
pada pemiliknya, mengapa burung Beo diajar kalimat seperti itu, bukan kalimat
lainnya seperti salam. Sang Pemilik menjawab, “Itulah yang selalu Anda lupakan
bukan? Anda lupa untuk memperhatikan apa yang sedang terjadi.”
Demikian Aldous Huxley, dalam novel Pala Island menyindir
kebiasaan kita yang sering melupakan apa yang seharusnya diingat: di sini dan
sekarang. Manusia memang sering merasa betah pada satu hal, walaupun hal itu
semula ia benci dengan kesumat. Misalnya, ada sebagian yang mengangankan masa
lalu yang begitu gemilang untuk kembali mewujud pada hari ini. Keinginan ini
membuat masa kini dan masa depan jadi tak ada, yang ada melulu masa lalu.
Romantisme berlebih, demikian orang menyebutnya. Ada juga orang yang menganggap
masa depan sebagai segalanya, saat ini hanyalah bangkai yang harus dihindari;
masa lalu adalah bangkainya bangkai. Padahal hidup adalah hari ini, karena
manusia sebenarnya tidak pernah mengalami hidup pada hari esok atau hari
kemarin.
Filsafat adalah ikhtiar untuk mengembalikan manusia pada
situasi di sini dan sekarang. Filsafat mengajak manusia untuk keluar
dari rutinias yang membosankan menuju kebenaran yang mengasykkan. Rutinitas
itu, kalaupun kita lakukan hari ini, sebenarnya berasal dari masa lalu atau
untuk masa depan. Rutinitas adalah jebakan kebiasaan, karena kemarin begini
maka besok juga begini, dan seterusnya. Di tengah rutinitas itu, tentu saja,
kita jadi bagian dari kehendak bukan kita. Seruan burung Beo untuk
memperhatikan di sini dan sekarang merupakan ajakan untuk keluar dari
rutinitas, dan filsafat salah satu jalannya.
Kesadaran akan pentingnya memperhatikan secara terkonsentrasi
pada kenyataan yang sedang dialami akan menerbitkan rasa heran. Tanpa perhatian
yang terkonsentrasi, segala yang lewat dianggap biasa-biasa saja, tak ada yang
aneh. Namun begitu kita mau berhenti sejenak untuk memperhatikan gejala-gejala
(benda-benda, diri atau orang lain) kita akan menemukan sesuatu yang aneh, pada
saat itulah muncul rasa heran dan serentak pula terbit pertanyaan.
Untuk ilustrasi rasa heran ini ada salah satu film Jim Carey
yang menarik untuk diungkap. Hiduplah seorang pemuda yang cukup sukses dan
bahagia di sebuah kota yang sangat menyenangkan. Semua tetangga menyapanya
dengan senyum yang sangat tulus, semua orang di pasar, di jalan-jalan, di
tempat ibadah begitu gemar tersenyum. Pemuda ini tentu saja merasa betah, kota
itu surga baginya. Apalagi karir dan kehidupan ekonominya begitu luar biasa.
Tak ada lagi yang perlu dikhawatirkan, dan karenanya tak ada satupun hasrat
untuk mencari kota lain; pertanyaan sudah tak bisa diucapkan dari mulutnya.
Namun suatu ketika ia jatuh cinta, dan kekasihnya hilang entah ke mana. Ia
kangen dan ingin bertemu, tapi kemana? Tak ada kota lain yang ia kenal, sejak
kecil ia hidup di kota bahagia tersebut. Ia berusaha mencari dan
bertanya-tanya, namun setiap kali ia mau keluar dari kota ada banyak orang yang
mencegahnya, bahkan memukulinya. Pemuda ini mulai curiga. Apalagi ketika ia
mulai memperhatikan secara serius gejala-gejala di sekitarnya. Saat itu ia
menemukan hal-hal yang berulang-ulang sama. Tetangganya keluar dari rumah pada
jam yang sama setiap harinya, menyapa dengan cara yang sama; anjing melintas di
depan rumahnya dengan cara dan jam yang sama; semuanya begitu sama bahkan ia
bisa menebak apa yang terjadi setelah satu peristiwa. Pada saat itulah terbit
rasa heran dan pertanyaan-pertanyaan. Kenapa semuanya selalu sama setiap hari?
Kenapa kekasihnya pergi? Kenapa ia tak diizinkan ke kota lain?
Pemuda itu kemudian mencoba melarikan diri, ia berlayar
menjauhi pantai yang semula dipujanya sebagai pantai bahagia. Ia
dihalang-halangi dan dikejar, namun rasa heran dan penasarannya (karena tak
menemukan jawaban) membuat ia tak perduli bahaya. Ia terus berlayar, mengayuh
perahunya menuju ujung langit yang jauh. Tapi ternyata ujung langit itu
berbatas, perahunya menabrak langit yang semula dianggap begitu tinggi dan tak
terbatas. Pemuda itu kemudian tersadar bahwa dunia yang dihidupinya adalah
dunia bualan, kota yang ditinggalinya adalah studio stasiun TV komersial dan
dirinya adalah aktor televisi, juga semua orang di kota itu. Ia ternyata
seorang manusia yang sejak lahir telah dijadikan aktor yang seluruh hidupnya
diatur oleh skenario produser sinetron. Di ujung langit buatan itu, ia berdiri
ragu. “Keluarlah dari kota ini, kau tak akan menemukan kebahagiaan. Di luar
sana tak ada kota sesurga di sini..” teriak salah seorang produser sinetron
itu. Tapi pemuda itu mau cinta dan kebahagiaan sejati, ia tetap keluar dan
memeluk kekasihnya yang telah menunggu di luar kota buatan.
Perhatian yang terkonsentrasi dalam kisah di atas adalah
pembebasan, terlebih jika diteruskan dengan menuruti rasa heran dan pertanyaan
yang tak kunjung henti.
***
Di sebuah pasar. Seorang tukang sulap memamerkan
kemampuannya dalam memukau penonton, ia bisa mengubah batu menjadi emas. Semua
penonton bersorak takjub. Kecuali satu orang lelaki: tua, lusuh seperti tampang
rakyat kebanyakan. Dari mulutnya keluar kata-kata yang menghentikan keriuhan
tepuk tangan penonton, “babari, membuat batu jadi emas, mah. Coba
jadikan hatimu beersinar-sinar dan mulia, alangkah sulit!”. Kalimat ini persis
seperti ungkapan Yunani Kuno, “Kenalilah dirimu sendiri!” yang kemudian menjadi
tema utama dalam banyak perbincangan filosofis.
Filsafat konon harus dimulai dari diri, seperti dikemukakan
Heraclitos, Aku Mencari diriku sendiri. Pastikan dulu diri dapat dikenali,
baru melangkah ke wilayah lain. Dan mengenali diri, alangkah sulit. Kita sering
secara tak sadar mengalami situasi tenggelam-dalam-kerumunan. Tindakan,
pikiran, atau kehendak dibentuk oleh kerumunan itu, sehingga kedirian tidak
terumuskan. Jikapun ada rumusan itu berasal dari pemberian kerumunan itu. Derek
Walcott, penyair dari Trinidad, pernah membuat sajak yang menceritakan situasi
tenggelam-dalam-kerumunan itu. Alkisah di sebuah pulau diramaikan oleh banyak
hal ada seorang anak yang didatangi nenek moyangnya, dari berabad-abad silam.
Anak itu ditanya, “Siapa namamu?” Lalu menjawab sebuah nama dari bahasa luar
pulau itu, serentak sang nenek moyang bertanya, “apa arti dari nama itu?” Namun
sang anak bisa menjawab:
Aku tak tahu apa arti nama itu. Ada juga artinya,
Barangkali. Tetapi, apa bedanya? Di dunia tempat tinggalku
itu
Kami menerima saja bunyi-bunyi yang diberikan:
Manusia, pepohonan, dan air.
Kami menerima saja bunyi-bunyi yang diberikan, itulah situasi
tenggelam-dalam-kerumunan. Kerumunan itu memberikan banyak kata-kata yang
menyihir kita menjadi penurut terhadap segala apa yang mereka katakan. Dalam
kondisi seperti itu, filsafat dibutuhkan, “Filsafat adalah perang sabil
terhadap pesona dengan apa bahasa mengikat pemikiran kita”, demikian ujar
Wittgenstein. Bahasa dari kerumunan itu memasung pemikiran kita, dan pada saat
itu dibutuhkan penjernihan konsep, suatu fungsi dari Filsafat analitik
(salah satu tipe filsafat). Penjernihan konsep ini penting agar
jerat-jerat bahasa kerumunan terungkap, yang dengan cara ini kita bisa
melepaskan diri dan menjadi diri sendiri. Filsafat yang mengarahkan ke
jalan hidup yang manusiawi disebut Filsafat eksistensialisme.
Dua tipe filsafat itu menunjukkan bahwa filsafat bukan
perkara yang jauh dari kehidupan kita. Filsafat adalah menjernihkan konsep,
menjernihkan bahasa agar kita bisa mengerti; filsafat adalah menemukan jalan
hidup agar kita lebih manusiawi.
“Berfilsafat adalah sauatu cara berpikir yang tidak
berdasarkan atas apapun juga selain daripada pengalaman dan cara berpikir
sendiri. Yang dimaksud dengan cara berpikir adalah berpikir sendiri mengenai
pengalaman yang dialaminya sendiri atau sekurang-kurangnya pengalaman yang
disbebakan oleh inspirasi atau khayalannya. Oleh karena itu, berfilsafat tidak
mengizinkan masuknya setiap kekuasaan (pengaruh) dari orang lain, yang untuk
saya, mengalami dan berpikir atas nama saya, lalu mengatakan kepada saya apa
yang harus saya terima saja.” (Paperzak)
“Setiap orang yang bersedia dan cenderung bertanya kepada
dirinya sendiri mengapa dia melakukan ini atau itu, dia sedang berfilsafat.
Berfilsafat bukan pekerjaan kaum elit saja”[8]
Manakah yang lebih baik dari keduanya? Adakah filsafat yang
baik? Tentang filsafat yang baik dan yang tidak baik, Plato pernah menyatakan
“…bahwa yang pertama membuat orang menjadi lebih baik dan yang terakhir tidak”
Dikaitkan dengan dua tipe filsafat di atas, filsafat yang baik adalah gabungan
(sintesa) antara keduanya. Jadi Analitik yang mengarah pada eksistensi, dan
atau eksistensialisme yang memperhatikan analisa. Jadi filsuf eksistensialis
yang baik ialah yang dapat mengarahkjan perhatian kita ke bidikan puncak
kemanusiaan tanpa penggunaan bahasa yang ruwet dan menyesatkan (yang
mengaburkan kebenaran); sedang filsafat analitik yang baik adalah yang bisa
berbahasa dengan gamblang tanpa kehilangan wawasan-wawasan terhadap
bidikan-bidikan pembelajaran (untuk hidup yang lebih baik).[9]
[1] C,A Van Peursen, Orientasi di Alam
Filsafat, PT. Gramedia, Jakarta, 1980, h.2
[2] Geraard Beekman, Filsafat Para
Filsuf Berfilsafat, Penerbit Erlangga, Jakarta, 1984, h. 23
[3] Blake, W., The Mariage of Heaven
and Hell, 1872 dikutip dari Geraard Beekman hal. 40
[4] Dikutip dari Gunawan Muhammad,
“pertantaan anak anak”, dalam Catatan Pinggir 1, hal. 530. Konon
ini adalah cuplikan kisah nyata dari Priveleged Ones hasil penelitian
Rovert Coles terhadap anak-anak orang kaya di Amerika.
[5] Ibid., hal. 531
[6] Stephen Palmquis, The Tree of
Philosophy, Philosopgy Press, Hong Kong, 2000,
[7] R. Beerling, dikutip dar iGeraard
Beekman, hal. 49
[8] Ortega y Gasset, J., Wat is
Filosofie, 1960, h. 14
[9] Palmquis, The Tree of
Philosphie, 2000, hal. 10