Beragam peristiwa di berbagai daerah yang
tiap hari kita saksikan di media massa
tidak hanya sekedar sebuah berita yang bagi kita tidak cukup hanya sekedar tahu
agar tidak ketinggalan informasi. Atau takut disebut ”kuper” alias kurang
pergaulan.
Mungkin kita haru, sedih, mengumpat, kesal,
dan marah pada saat menyaksikan sekelompok demonstran, para buruh pabrik,
pedagang kaki lima
dipukuli polisi manakala menuntut perbaikan hidup. Atau cerita nestapa petani
yang terus menerus gagal panen menuntut perbaikan irigasi ke Pemda karena
sumber air yang kiat menyusut. Peristiwa perlawanan rakyat di beberapa daerah
yang menuntut otonomi khusus, bahkan memisahkan diri dari NKRI karena
diperlakukan tidak adil dalam pengelolaan sumber daya dan keuangan daerahnya
Jika dirunut hal ikhwal mengapa keadaan
demikian bisa terjadi, dan merenungkan kembali tujuan dasar kita berbangsa dan
bernegara adalah untuk mencapai penghidupan yang lebih baik, demokratis, dan
berkeadilan sosial, maka ada yang salah dalam pengelolaan negara ini. Buku
”Negara Adalah Kita; Pengalaman Rakyat Melawan Penindasan” merupakan upaya
simpul-simpul forum belajar bersama untuk mencatat dari dekat inisiatif perlawanan
rakyat/komunitas lokal. Dengan segala kekuatan dan kelemahannya,
catatan-catatan ini dimaksudkan sebagai cara untuk mengenal berbagai pengalaman
rakyat yang terorganisir untuk melawan ketidakadilan dan kekerasan.
Berntuk-bentuk perlawanan ini kebanyakan tidak bersumber pada seperangkat teori
baku, namun
bisa disebut sebagai “respon organik” terhadap keadaan konkret yang dihadapi.
Buku tersebut secara gamblang telah diurai
dalam acara bedah buku yang diselenggarakan atas kerja sama Yappika selaku
penerbit dengan BEM Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
pada Kamis, 7 Desember 2006. Dihadiri oleh lebih dari seratus orang mahasiswa
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta dan beberapa
perwakilan dari Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Se-Jabotabek. Hadir sebagai
narasumber adalah Wilson,
yang juga sebagai salah seorang editor buku tersebut, dan Patra M. Zen dari
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Acara dimoderatori oleh
Syukron Jamal, Presiden BEM UIN.
Dalam prakteknya, banyak terjadi rekayasa
elit dan aparat misalnya melalui mobilisasi rakyat dengan iming-iming uang dan
janji, bahkan memasok senjata gelap dan memunculkan berbagai bentuk kekerasan,
termasuk kekerasan rasial, agama, bahkan kekerasan terhadap anak-anak dan
perempuan. Dalam paparannya, Wilson
menyatakan bahwa munculnya perlawanan rakyat baik di tingkat lokal maupun di
tingkat nasional merupakan perwujudan ketidakpuasan rakyat kepada para pemimpin
dalam mengelola negara. Elitisasi kekuasaan jelas mengesampingkan peran rakyat
selaku pemilik kedaulatan. Pengelola negara mestinya memahami dan mau
melaksanakan mandat untuk memberikan pelayanan terbaik akan hak-hak dasar warga
negara. Tidak seperti sekarang ini. Aparat pengelola negara mengingkari sumpahnya
sebagai pengayom, pelayan publik. Mereka malah seperti birokrat priyayi yang
maunya dilayani, dihormati, dan selalu ingin didahulukan.
Lebih jauh Wilson coba memperbandingkan model
kepemimpinan di Indonesia
sejak kurun waktu pemerintahan Orde Baru hingga saat ini, dengan model
kepemimpinan di negara lain yang progresif pro-rakyat seperti Fidel Kastro di
Kuba. Evo Morales di Bolivia, Hugo Chavez di Venezuela, Lula da Silva di
Brazil.
Fidel Kastro, meskipun tak henti-hentinya
dimusuhi Amerika, mampu menunaikan kewajiban negara memberikan pelayanan dasar
warga negaranya. Pemerintah Kuba menyediakan pusat-pusat layanan kesehatan
gratis untuk semua warga negara tanpa diskriminasi. Begitu juga dalam bidang
pendidikan. Rakyat Kuba juga dapat menikmati sekolah murah berkualitas. Bahkan
dalam satu kesempatan Kastro berujar bahwa jika ada warga negara miskin Amerika
yang tidak mampu berobat ke rumah sakit, maka pemerintah Kuba bersedia
menjemput warga Amerika tersebut untuk berobat secara cuma-cuma di Kuba.
Kemudian rencana presiden terpilih Evo Morales yang akan menasionalisasi
perusahaan-perusahaan multinasional yang menyangkut kebutuhan publik seperti
perusahaan pertambangan dengan kepemilikan berada di tangan publik merupakan
langkah berani. Di tengah arus pasar bebas internasional, keputusan ini tentu
mengundang reaksi tidak saja dari kalangan perusahaan-perusahaan multinasional
dan negara-negara dimana perusahaan tersebut brcokol, tetapi juga dari kalangan
oposisi yang selama ini diuntungkan oleh privatisasi aset negara.
Sementara itu, Patra M. Zen melihat bahwa
tidak sedikit para elit dan pemimpin yang sebenarnya tidak sungguh-sungguh
menjalankan kewajibannya. Kentalnya kepentingan pribadi dan kelompok seringkali
mengorbankan kepentingan rakyat yang lebih luas dan mendasar. Setiap kebijakan
yang diambil pemerintah hanya mempertimbangkan kepentingan kelompok-kelompok
pendukung pemerintah baik dari kelompok bisnis, partai politik, dan militer.”
Di depan publik mereka seakan-akan memihak rakyat, terutama pada saat kampanye.
Tapi setelah terpilih janji-janjinya ditaruh di file dokumen.” Fenomena ini
berlangsung sejak jama orde baru hingga saat ini. Maka wajar jika kemudian
muncul perlawanan dari rakyat selaku konstituen menagih janji-janji wakilnya.
Mestinya tidak harus ditagih. Memang sudah
menjadi kewajiban aparat negara menjalankan amanat undang-undang dasar untuk
menyejahterakan rakyat. Dan siapa pun pemimpin beserta aparatnya yang tidak
menjalankan amanat rakyat wajib untuk dimeja hijaukan.
Contoh-contoh Perlawanan Rakyat.
Dari 30 kasus bentuk-bentuk perlawanan
rakyat yang diajukan dalam buku ”Negara Adalah Kita; Pengalaman Rakyat Melawan
Penindasan” terbagi dalam bidang yang berbeda-beda. Di antaranya perlawanan
merebut hak-hak ekonomi, sosial, budaya (ekosob); perlawanan merebut hak sumber
daya alam; dan pengelolaan konflik oleh rakyat. Hanya saja, seperti ditanyakan
oleh peserta diskusi bedah buku ini, ada isu krusial lain yang belum dimuat
yakni persoalan campur tangan negara dalam urusan keberagamaan dan keyakinan
warga negara. Negara melalui Departemen Agama dan ulama yang tergabung dalam
MUI tidak berlaku bijak dan merenggut hak-hak warga negara yang memiliki
keyakinan berbeda atau tidak dianggap tidak segaris dengan peraturan
Kasus nasional seputar penolakan rakyat
terhadap kebijakan pemerintah menaikan harga BBM beberapa tahun lalu merupakan
salah satu kasus yang diangkat. Kenaikan harga BBM pada bulan Oktober 2005 yang
disertai pemberian kompensasi kepada rakyat miskin memicu gelombang protes
dimana-mana. Kenaikan BBM merupakan kebijakan pemerintah yang jelas-jelas
membebani rakyat kecil. Program kompensasi berupa Bantuan Tunai Langsung (BLT)
dianggap sebagai bentuk penipuan oleh pemerintah yang seolah peduli dengan
memberikan dana sebesar Rp 300.000/3bulan = Rp 3.300/hari/KK. Program BLT juga
memicu konflik horizontal dan pengabaian hak warga negara lain yang dianggap
tidak memiliki identitas seperti KTP.
Perlawanan muncul dari berbagai
organ/aliansi rakyat menentang kebijakan kenaikan BBM dan BLT. Bahkan Ibu-ibu
pun tak ketinggalan turut serta menyuarakan harapannya menolak kenaikan BBM.
Tak hanya di Jakarta,
aksi serupa juga menyeruak secara masif di kota-kota lain di seluruh Indonesia.
Namun, pemerintah tak bergeming. BLT dianggap kompensasi yang paling pas bagi
rakyat meskipun dalam praktek penyalurannya banyak mengalami hambatan, tidak
tepat sasaran, bahkan disunat alias dikorupsi.
Penutup
Seperti disinggung oleh Sylvia Tiwon dalam
pengantarnya, bahwa prakarsa rakyat yang mengorganisir diri dengan kemampuan
membaca peta politik, kemudian memasuki celah yang terbuka untuk mengubah
realitas yang dihadapinya, menemukan kembali suara dan tenaga untuk
mrekonstruksi relasi sosial lama, dan menerobos status quo. Dengan ini rakyat
sedang mempraktekkan paham bahwa ”Negara Adalah Kita”.
Dalam kontrak sosial yang telah
dideklarasikan pada saat pendirian Negara, bahwa rakyatlah pemegang kedaulatan
tertinggi. Sementara lembaga-lembaga tinggi negara adalah perangkat yang
dibentuk untuk menjalankan amanat rakyat. Maka sudah selayaknya rakyat merebut
kembali kedaulatannya yang telah diselewengkan oleh aparat yang mengatasnamakan
Negara.***
Cecep Ajid Bustomi; Staf Humas &
Kampanye Publik Yappika