Sabtu, 05 Mei 2012

"Fenomena Perlawanan Rakyat Cermin Kedaulatan Yang Terampas"


Beragam peristiwa di berbagai daerah yang tiap hari kita saksikan di media massa tidak hanya sekedar sebuah berita yang bagi kita tidak cukup hanya sekedar tahu agar tidak ketinggalan informasi. Atau takut disebut ”kuper” alias kurang pergaulan.

Mungkin kita haru, sedih, mengumpat, kesal, dan marah pada saat menyaksikan sekelompok demonstran, para buruh pabrik, pedagang kaki lima dipukuli polisi manakala menuntut perbaikan hidup. Atau cerita nestapa petani yang terus menerus gagal panen menuntut perbaikan irigasi ke Pemda karena sumber air yang kiat menyusut. Peristiwa perlawanan rakyat di beberapa daerah yang menuntut otonomi khusus, bahkan memisahkan diri dari NKRI karena diperlakukan tidak adil dalam pengelolaan sumber daya dan keuangan daerahnya

Jika dirunut hal ikhwal mengapa keadaan demikian bisa terjadi, dan merenungkan kembali tujuan dasar kita berbangsa dan bernegara adalah untuk mencapai penghidupan yang lebih baik, demokratis, dan berkeadilan sosial, maka ada yang salah dalam pengelolaan negara ini. Buku ”Negara Adalah Kita; Pengalaman Rakyat Melawan Penindasan” merupakan upaya simpul-simpul forum belajar bersama untuk mencatat dari dekat inisiatif perlawanan rakyat/komunitas lokal. Dengan segala kekuatan dan kelemahannya, catatan-catatan ini dimaksudkan sebagai cara untuk mengenal berbagai pengalaman rakyat yang terorganisir untuk melawan ketidakadilan dan kekerasan. Berntuk-bentuk perlawanan ini kebanyakan tidak bersumber pada seperangkat teori baku, namun bisa disebut sebagai “respon organik” terhadap keadaan konkret yang dihadapi.

Buku tersebut secara gamblang telah diurai dalam acara bedah buku yang diselenggarakan atas kerja sama Yappika selaku penerbit dengan BEM Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada Kamis, 7 Desember 2006. Dihadiri oleh lebih dari seratus orang mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta dan beberapa perwakilan dari Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Se-Jabotabek. Hadir sebagai narasumber adalah Wilson, yang juga sebagai salah seorang editor buku tersebut, dan Patra M. Zen dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Acara dimoderatori oleh Syukron Jamal, Presiden BEM UIN.


Dalam prakteknya, banyak terjadi rekayasa elit dan aparat misalnya melalui mobilisasi rakyat dengan iming-iming uang dan janji, bahkan memasok senjata gelap dan memunculkan berbagai bentuk kekerasan, termasuk kekerasan rasial, agama, bahkan kekerasan terhadap anak-anak dan perempuan. Dalam paparannya, Wilson menyatakan bahwa munculnya perlawanan rakyat baik di tingkat lokal maupun di tingkat nasional merupakan perwujudan ketidakpuasan rakyat kepada para pemimpin dalam mengelola negara. Elitisasi kekuasaan jelas mengesampingkan peran rakyat selaku pemilik kedaulatan. Pengelola negara mestinya memahami dan mau melaksanakan mandat untuk memberikan pelayanan terbaik akan hak-hak dasar warga negara. Tidak seperti sekarang ini. Aparat pengelola negara mengingkari sumpahnya sebagai pengayom, pelayan publik. Mereka malah seperti birokrat priyayi yang maunya dilayani, dihormati, dan selalu ingin didahulukan.


Lebih jauh Wilson coba memperbandingkan model kepemimpinan di Indonesia sejak kurun waktu pemerintahan Orde Baru hingga saat ini, dengan model kepemimpinan di negara lain yang progresif pro-rakyat seperti Fidel Kastro di Kuba. Evo Morales di Bolivia, Hugo Chavez di Venezuela, Lula da Silva di Brazil.


Fidel Kastro, meskipun tak henti-hentinya dimusuhi Amerika, mampu menunaikan kewajiban negara memberikan pelayanan dasar warga negaranya. Pemerintah Kuba menyediakan pusat-pusat layanan kesehatan gratis untuk semua warga negara tanpa diskriminasi. Begitu juga dalam bidang pendidikan. Rakyat Kuba juga dapat menikmati sekolah murah berkualitas. Bahkan dalam satu kesempatan Kastro berujar bahwa jika ada warga negara miskin Amerika yang tidak mampu berobat ke rumah sakit, maka pemerintah Kuba bersedia menjemput warga Amerika tersebut untuk berobat secara cuma-cuma di Kuba. Kemudian rencana presiden terpilih Evo Morales yang akan menasionalisasi perusahaan-perusahaan multinasional yang menyangkut kebutuhan publik seperti perusahaan pertambangan dengan kepemilikan berada di tangan publik merupakan langkah berani. Di tengah arus pasar bebas internasional, keputusan ini tentu mengundang reaksi tidak saja dari kalangan perusahaan-perusahaan multinasional dan negara-negara dimana perusahaan tersebut brcokol, tetapi juga dari kalangan oposisi yang selama ini diuntungkan oleh privatisasi aset negara.

Sementara itu, Patra M. Zen melihat bahwa tidak sedikit para elit dan pemimpin yang sebenarnya tidak sungguh-sungguh menjalankan kewajibannya. Kentalnya kepentingan pribadi dan kelompok seringkali mengorbankan kepentingan rakyat yang lebih luas dan mendasar. Setiap kebijakan yang diambil pemerintah hanya mempertimbangkan kepentingan kelompok-kelompok pendukung pemerintah baik dari kelompok bisnis, partai politik, dan militer.” Di depan publik mereka seakan-akan memihak rakyat, terutama pada saat kampanye. Tapi setelah terpilih janji-janjinya ditaruh di file dokumen.” Fenomena ini berlangsung sejak jama orde baru hingga saat ini. Maka wajar jika kemudian muncul perlawanan dari rakyat selaku konstituen menagih janji-janji wakilnya.

Mestinya tidak harus ditagih. Memang sudah menjadi kewajiban aparat negara menjalankan amanat undang-undang dasar untuk menyejahterakan rakyat. Dan siapa pun pemimpin beserta aparatnya yang tidak menjalankan amanat rakyat wajib untuk dimeja hijaukan.

Contoh-contoh Perlawanan Rakyat.

Dari 30 kasus bentuk-bentuk perlawanan rakyat yang diajukan dalam buku ”Negara Adalah Kita; Pengalaman Rakyat Melawan Penindasan” terbagi dalam bidang yang berbeda-beda. Di antaranya perlawanan merebut hak-hak ekonomi, sosial, budaya (ekosob); perlawanan merebut hak sumber daya alam; dan pengelolaan konflik oleh rakyat. Hanya saja, seperti ditanyakan oleh peserta diskusi bedah buku ini, ada isu krusial lain yang belum dimuat yakni persoalan campur tangan negara dalam urusan keberagamaan dan keyakinan warga negara. Negara melalui Departemen Agama dan ulama yang tergabung dalam MUI tidak berlaku bijak dan merenggut hak-hak warga negara yang memiliki keyakinan berbeda atau tidak dianggap tidak segaris dengan peraturan


Kasus nasional seputar penolakan rakyat terhadap kebijakan pemerintah menaikan harga BBM beberapa tahun lalu merupakan salah satu kasus yang diangkat. Kenaikan harga BBM pada bulan Oktober 2005 yang disertai pemberian kompensasi kepada rakyat miskin memicu gelombang protes dimana-mana. Kenaikan BBM merupakan kebijakan pemerintah yang jelas-jelas membebani rakyat kecil. Program kompensasi berupa Bantuan Tunai Langsung (BLT) dianggap sebagai bentuk penipuan oleh pemerintah yang seolah peduli dengan memberikan dana sebesar Rp 300.000/3bulan = Rp 3.300/hari/KK. Program BLT juga memicu konflik horizontal dan pengabaian hak warga negara lain yang dianggap tidak memiliki identitas seperti KTP.

Perlawanan muncul dari berbagai organ/aliansi rakyat menentang kebijakan kenaikan BBM dan BLT. Bahkan Ibu-ibu pun tak ketinggalan turut serta menyuarakan harapannya menolak kenaikan BBM. Tak hanya di Jakarta, aksi serupa juga menyeruak secara masif di kota-kota lain di seluruh Indonesia. Namun, pemerintah tak bergeming. BLT dianggap kompensasi yang paling pas bagi rakyat meskipun dalam praktek penyalurannya banyak mengalami hambatan, tidak tepat sasaran, bahkan disunat alias dikorupsi.

Penutup

Seperti disinggung oleh Sylvia Tiwon dalam pengantarnya, bahwa prakarsa rakyat yang mengorganisir diri dengan kemampuan membaca peta politik, kemudian memasuki celah yang terbuka untuk mengubah realitas yang dihadapinya, menemukan kembali suara dan tenaga untuk mrekonstruksi relasi sosial lama, dan menerobos status quo. Dengan ini rakyat sedang mempraktekkan paham bahwa ”Negara Adalah Kita”.

Dalam kontrak sosial yang telah dideklarasikan pada saat pendirian Negara, bahwa rakyatlah pemegang kedaulatan tertinggi. Sementara lembaga-lembaga tinggi negara adalah perangkat yang dibentuk untuk menjalankan amanat rakyat. Maka sudah selayaknya rakyat merebut kembali kedaulatannya yang telah diselewengkan oleh aparat yang mengatasnamakan Negara.***


Cecep Ajid Bustomi; Staf Humas & Kampanye Publik Yappika

like...