Selasa, 08 Mei 2012

PEMIMPIN SEJATI VS PEMIMPIN IKLAN

Tanggal : 12 Aug 2008
Sumber : Sinar Harapan
Prakarsa Rakyat,


Pengantar:
Setelah 63 tahun lalu kemerdekaan Indonesia direbut melalui perjuangan revolusioner rakyat, kemerdekaan yang menjadi jembatan emas menuju masyarakat adil, makmur masih jauh dari cita-cita revolusi 1945. Elite kini malah sibuk mengiklankan diri seolah-olah bisa menjadi pemimpin rakyat.
Bisakah cita-cita dilanjutkan dengan cara seperti ini? Tulisan mengenai sosok pemimpin sejati yang bisa melanjutkan cita-cita revolusi 1945 diturunkan dalam tiga tulisan berseri oleh wartawan SH, Tutut Herlina dan Web Warouw.


JAKARTA – Sejumlah nama pemimpin negara itu terpampang di selembar kertas yang disodorkan seorang kader partai politik akhir bulan Juli lalu. Mereka antara lain Presiden Venezuela Hugo Chavez, Presiden Rusia Dimitri Medvedev, Presiden Bolivia Evo Morales, dan Perdana Menteri Rusia Vladimir Vladimirovich Putin.
Mereka dinilai mewakili ”takdir” dunia saat ini, yakni sebuah dunia di bawah kepemimpinan kaum muda. Mencoba mengikuti tren yang terjadi di dunia itu pula, Indonesia yang akan menghadapi pemilihan umum (Pemilu) pada 2009 mendatang juga terinspirasi perlunya menghadirkan pimpinan muda.
Sejumlah nama pun bermunculan, dari Rizal Mallarangeng, Fadjroel Rachman dan Yuddy Chrisnandi. Mereka menantang para calon pimpinan tua seperti Megawati Soekarnoputri, Wiranto, Prabowo, Susilo Bambang Yudhoyono, Jusuf Kalla.
Akankah mereka bisa sama? Mari lihat latar belakangnya, Hugo Chavez adalah seorang kolonel tentara Venezuela yang revolusioner. Bersama dengan teman-temannya dia memulai perjuangan sejak tahun 1970. Nama organginisasinya MBR 200 (Gerakan Bolvarian Revolusioner), gerakan terpadu antara rakyat dengan militer bersenjata.
Ia sangat terinspirasi dengan pemimpin revolusi China Mao Zedong yang menyebutkan bahwa ”tentara dan rakyat ibarat ikan di dalam air”. Ia sempat dipenjara karena melakukan pemberontakan bersenjata.
Namun, ia tak surut untuk terus melakukan perjuangan dan bersatu dengan rakyat menghadapi penghisapan kaum pemilik modal dan pemerintahan AS yang berkolaborasi erat dengan pemerintahan di negeri itu. Ia akhirnya memenangkan pemilu dengan massa yang menerimanya dengan antusias.

Begitu berkuasa, ia memiliki konsepsi sosialisme abad 21 dan melakukan nasionalisasi.
Pun demikian dengan Evo Morales. Ia memulai perjuangan dari awal dengan mendampingi para petani kakao yang umumnya berasal dari Suku Indian. Evo yang juga berasal dari Suku Indian itu akhirnya dipercaya menjadi presiden lewat pemilu.
Pengalamannya bersama kaum papa, telah membuatnya bercita-cita untuk berdiri tegak di samping mereka. Dia dengan keras melawan arogansi pemilik modal maupun negara Barat yang telah melakukan neokolonialisme. Tak tedeng aling-aling, ia nasionalisasi sejumlah perusahaan minyak swasta karena selama ini tak pernah ada keuntungan untuk rakyat Bolivia. Ia tak peduli dengan ancaman arbitrase internasional.
Vladimir Putin adalah mantan seorang anggota polisi rahasia Uni Soviet (KGB). Dalam usianya yang masih muda, dia sudah menjadi anggota Partai Komunis Uni Soviet (PKUS). Namun, seiring runtuhnya Uni Soviet ia meninggalkan profesi itu. Didorong dengan rasa cinta tanah air yang kuat dan penderitaan rakyat akibat campur tangan AS dan Eropa Barat, ia bertekad untuk memulihkan keadaan.
Bersama dengan anggota KGB lainnya ia melakukan operasi diam-diam hingga naik ke tampuk kekuasaan. Tugas pertamanya adalah menyingkirkan kaum oligarki atau pemilik modal dari panggung politik karena mereka telah mengakibatkan penderitaan rakyat.
Ia menghapus kaum oligarki sebagai sebuah kelas. Ia juga menasionalisasi BUMN yang sebelumnya telah diprivatisasi. Medvedev sendiri merupakan penerus Putin, yang sebelumnya selalu bersama-sama ”menumpas” kaum oligarki.

Pergerakan dari Bawah?
Lantas bagaimana dengan tokoh-tokoh di Indonesia? Rizal Mallarangeng tersohor sebagai pengamat politik. Ia membawakan acara di televisi swasta. Ia memiliki lembaga swadaya masyarakat (LSM) Freedom Institute yang dekat dengan Menko Kesra Aburizal Bakrie yang juga pemilik PT Lapindo Brantas. Luapan lumpur panas PT Lapindo sendiri saat ini telah menenggelamkan beberapa desa di Sidoarjo.
Melalui Freedom Institute pula, Rizal mendukung kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) pada tahun 2005. Ia juga dikenal sebagai intelektual yang propasar bebas.
Sementara itu, Fadjroel Rahman sering menjadi moderator maupun pengamat yang dimintai pendapatnya di media massa. Pada zaman Orde Baru (Orba) ia pernah dipenjara karena menentang Soeharto. Saat ini, ia memiliki lembaga Pedoman.
Adapun Yuddy Chrisnandi adalah seorang anggota Partai Golongan Karya (Golkar), sebuah partai warisan Orba. Ia dikenal suka bicara melawan arus partainya. Pendapatnya sering dikutip oleh media massa. Namun, tak pernah terdengar sepak terjangnya memulai pergerakan dari bawah, bersama-sama rakyat yang menderita.
Begitu pula dengan tokoh tua, Megawati pernah menjadi ikon perlawanan rakyat terhadap rezim Soeharto. Ia juga dipandang memiliki kharisma ayahnya, Presiden Soekarno. Namun, begitu berkuasa pada 2001-2004, sejumlah UU yang proneoliberalisme dibuat, misalnya UU Sumber Daya Air (SDA), UU Tenaga Listrik, UU Minyak dan Gas Bumi, serta UU Pertambangan di Hutan Lindung. Pada saat itu juga terjadi privatisasi besar-besaran atas BUMN, salah satunya divestasi Indosat.
Wiranto adalah mantan ajudan Presiden Soeharto yang dipaksa lengser dari kekuasaannya oleh kekuatan rakyat. Ia pernah menjadi Menhankam/Pangab dan dituduh terlibat pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Timor Timur (Timtim), kasus Mei, maupun penculikan orang secara paksa.
Begitu juga dengan Prabowo Subianto. Mantan Danjen Kopassus dan menantu Presiden Soeharto itu dituding terlibat pelanggaran HAM, kerusuhan Mei 1998 dan penculikan orang. Ia tidak pernah datang ketika dipanggil oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
Sementara itu, Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla, dipilih oleh rakyat sebagai Presiden untuk periode 2004–2009. Yudhoyono dari kalangan militer, sedangkan Kalla seorang saudagar. Pada masa kepemimpinannya tersebut, harga BBM sudah naik dua kali. Oleh kalangan aktivis dan mahasiswa, mereka dituding terlalu tunduk pada kemauan AS, salah satu contohnya adalah penyerahan Blok Cepu pada Exxon Mobil Oil.
Ternyata dengan semua latar belakang yang ada, berpatokan tua dan muda tidaklah cukup. Indonesia membutuhkan pemimpin yang berkualitas yang bisa lahir bersama-sama dengan rakyat.
Jika ada sosok muda seperti Chavez, Indonesia akan mengalami kemajuan dan sejajar di dunia. Begitu pula jika ada sosok tua seperti Mao Zedong yang menjadi panutan Chavez maupun Deng Xiaoping, Indonesia juga bisa seperti China.
Namun, jika kualitas mereka tak sama seperti Chavez ataupun Mao yang melayani rakyat tertindas, jangan harap negara adil makmur bisa tercipta. Kesetaraan negara membutuhkan pemimpin sejati, bukan calon pemimpin yang gemar beriklan atau membuat opini.

like...