Semua bidang seni sering melakukan rekayasa
dalam karya-karyanya. Rekayasa ini dilakukan untuk mendongkrak hasil karya
seni, dan ini terjadi karena modal sampai saat ini masih menguasai pasar, dan
kita semua mengerti bahwa karya-karya besar yang dihasilkan oleh para seniman
masih mengacu pada keinginan pasar, sehingga seniman-seniman yang ada tidak
cukup mampu untuk melawan kekuatan modal tersebut. Dalam seni musik, kita dapat
menyaksikan bagaimana menjamurnya lagu-lagu anak dan juga trend Dangdut. Kita
memang akan cukup berbangga dengan semakin banyaknya seniman-seniman muda yang
mau berkarya. Namun dari sisi yang lain,
penghambaan terhadap modal sedang terjadi dalam industri musik. Karena
sebenarnya yang berkembang bukanlah kreatifitas para seniman muda daalam
berkarya, tapi industri musiklah yang mengalami perkembangan.
Musisi-musisi seperti Sheila on 7,
Padi, Jamrud, Gigi, dll yang menjadi
idola kalangan anak muda saat ini selalu mengusung lagu-lagu cinta. Hal ini
terjadi bukan karena mereka tidak mampu untuk menciptakan lagu-lagu bertemakan
keadaan sosial yang ada, tetapi karena mereka harus menghamba pada pasar yang
telah menjadikan mereka besar.
Musisi-musisi lainnya yang lebih memilih tema-tema sosial dalam tiap
lagunya tidak mampu untuk menembus pasar. Akhirnya, kondisi ini membuat
musisi-musisi muda menjadi mandul dan enggan untuk membuat lirik-lirik lagu
bertemakan sosial. Dunia Cinema ada kemajuan dengan semakin banyaknya
sutradara-sutradara muda yang berani untuk membuat sinetron. Apalagi dengan
munculnya 5 stasiun TV baru, dunia
Cinema memang seharusnya mengalami perkembangan. Adalah kesempatan bagi
sutradara muda untuk terus berkarya dan mengembangkan kreatifitasnya dalam
dunia perfilman. Film petualangan Sherina, Pasir Berbisik, Jalangkung, Ada apa
Dengan cinta, Ca Bau Kan serta beberapa Sinetron Mini Seri membuktikan banyak
kreator-kreator muda yang cukup berpotensi untuk mengangkat dunia perfilman
Indonesia. Begitu juga para insan film (Artis) seharusnya juga lebih terpacu
untuk memperbaiki akting bermainya, dan seharusnya para sutradara muda tidak
terpaku pada artis-artis yang sudah ada dan sudah diakui oleh pasar. Sekali
lagi, betapa pasar telah menguasai semua bidang seni. Film yang tidak
dibintangi oleh artis-artis terkenal tidak akan bisa terdongkrak penjualannya
di pasaran, padahal banyak artis-artis muda yang cukup berbakat dalam dunia
peran. Dunia Cinema juga masih didominasi oleh sutradara-sutradara yang selalu
memamerkan kekayaan, kemewahan, dan hura-hura dalam setiap sinetron dan film
yang mereka buat, yang justru sangat berbeda dengan realitas sosial yang
terjadi di masyarakat. Rakyat semakin dibuat terilusi oleh sinetron yang
disuguhkan oleh TV-TV swasta. Entah karena ketidakmampuan para sutradara untuk
membuat film-film yang bercerita tentang realitas yang ada pada masyarakat
indonesia. Bayangkan ditengah situasi sekarang, dimana harga kebutuhan pokok
terus naik rakyat kemudian dicekoki oleh tontonan yang membuat mereka bersedih
dan menangis haru. Rakyat pasti akan lupa bahwa harga yang naik akan semakin
menyengsarakan mereka, saat mereka menonton sinetron tersanjung, Bidadari,
Mencintaimu, Pernikahan Dini, Aku Ingin Pulang, dll. Kemunculan
sinetron-sinetron yang membuai tersebut,
membuat rakyat semakin tidak peduli pada kondisi mereka sendiri. Rakyat
dibuat menghayal dan terilusi untuk meninggalkan permasalahan mereka sendiri.
Kemajuan didunia Cinema ternyata
telah memecah konsentrasi para pekerja Teater. Pekerja Teater memandang dunia
cinema lebih menjanjikan daripada dunia
teater. Sehingga para pekerja teater lebih memilih untuk berbondong-bondong
pindah ke dunia perfilman dan meninggalkan teater. Apalagi dunia teater yang
memang tidak cukup dikenal oleh rakyat. Teater hanya dikenal oleh para pekerja
teater sendiri, karena teater hanya dapat dijumpai di gedung-gedung
pertunjukkan yang letaknya jauh dari rakyat. Panggung-panggung teater tidak
pernah muncul ditengah-tengah rakyat, tidak seperti sinetron yang setiap hari
menghiasi layar kaca dirumah-rumah. Ditambah lagi sulitnya menembus gedung
pertunjukkan yang ada, karena gedung pertunjukkan sudah dikuasai oleh
makelar-makelar. Gedung Kesenian Jakarta yang seharusnya bisa digunakan oleh
kelompok teater yang ada di jakarta, tapi hanya
kelompok-kelompok teater tertentu
yang dapat mementaskan karyanya. Sehingga kelompok teater yang baru muncul
bukan berkembang tetapi semakin mati.
Dalam bidang Ilmu dan Teknologi,
ditandai dengan munculnya stasiun-stasiun TV Swasta baru. Kemunculan stasiun TV
ini juga mempengaruhi perkembangan budaya dimasyara- kat. Masyarakat semakin
mudah untuk mengakses berita-berita dari TV. Selain itu, banjirnya VCD bajakan
juga mewarnai perkembangan IPTEK. Belum lama kita digemparkan oleh heboh VCD
“Bandung Lautan Asmara”, yang sempat menjadi pro kontra dikalangan masyarakat
dan praktisi hukum. Belum lagi Internet yang sudah bisa diakses oleh seluruh
masyarakat dengan mudah. Perkembangan teknologi jelas terasa pengaruhnya
terhadap budaya masyarakat. Karena masyarakat akan semakin mudah untuk menyerap
budaya-budaya impor, atau pasokan budaya lokal yang dibuat justru untuk semakin
membelenggu sikap kritis massa rakyat.
Rakyat Pemilik Sah Kebudayaan.
Perkembangan IPTEK yang diikuti oleh
perkembangan berbagai bidang seni saat ini semakin menggugah keinginan rakyat untuk
berkarya. Dan itu berarti semakin banyak karya seni yang dihasilkan oleh
rakyat. Karena rakyatlah pemilik sah kebudayaan, bukan mereka yang mengaku
sebagai sastrawan, artis, pelukis dan lainnya yang justru hanya berada di
gedung-gedung kesenian atau di galeri-galeri. Tapi rakyat juga bisa berkarya
sesuai keinginan mereka, dan merekalah yang layak untuk menilai hasil karya
tersebut. Bukan kurator, bukan produser, dan bukan pemilik modal. Perkembangan
IPTEK seharusnya digunakan untuk kepentingan rakyat. TV-TV swasta yang ada
dapat diguna- kan untuk mementaskan karya-karya para sineas muda yang maju,
perupa-perupa progresif dapat memunculkan karyanya di galeri-galeri,
gedung-gedung kesenian digunakan untuk pentas teater-teater kampung,
koran-koran dapat dijejali dengan puisi-puisi para buruh pabrik. Namun karena
kuatnya hegemoni modal, memaksa rakyat untuk lebih kreatif dalam berkarya. Kita
bisa menyaksikan panggung-panggung rakyat yang dibuat dimana-mana. Teater dimainkan di jalan-jalan, musik underground
didendangkan dilapangan-lapangan terbuka, kuas-kuas diayunkan di tembok-tembok,
puisi-puisi diteriakkan di bis kota. Dan disanalah muncul seniman-seniman muda
yang lebih peka terhadap permasalahan disekitar mereka. Karena mereka langsung
merasakannya.
Bukan hanya digedung-gedung kesenian
muncul kelompok seni, tapi juga di kereta, bis kota, kampung-kampung, pabrik.
Kelompok teater bermunculan bagai jamur di kampung -kampung, pengamen jalanan
semakin merebak ke tiap perempatan jalan. Di pabrik-pabrik bermunculan
penulis-penulis puisi tentang realitas kehidupan buruh. Diperkam- pungan kumuh
anak-anak kecil dengan bersemangat berbondong-bondong belajar melukis. Walaupun
mereka tidak mampu untuk menembus pintu gerbang gedung kesenian yang telah
dibentengi oleh para pemilik modal. Saatnya sekarang untuk terus belajar
dan berkarya membangun budaya pembebasan. Semua harus dilakukan agar
kebudayaan kembali menjadi milik rakyat. Bukan milik segelintir orang yang
selama ini menguasai modal.