Kamis, 13 Desember 2012

NeoLiberalisme adalah jurus terakhir kapitalisme dunia yang menempatkan pasar di atas segala-galanya. Dan ternyata kapitalisme telah merambah kedalam sektor kebudayaan.



Semua bidang seni sering melakukan rekayasa dalam karya-karyanya. Rekayasa ini dilakukan untuk mendongkrak hasil karya seni, dan ini terjadi karena modal sampai saat ini masih menguasai pasar, dan kita semua mengerti bahwa karya-karya besar yang dihasilkan oleh para seniman masih mengacu pada keinginan pasar, sehingga seniman-seniman yang ada tidak cukup mampu untuk melawan kekuatan modal tersebut. Dalam seni musik, kita dapat menyaksikan bagaimana menjamurnya lagu-lagu anak dan juga trend Dangdut. Kita memang akan cukup berbangga dengan semakin banyaknya seniman-seniman muda yang mau berkarya.  Namun dari sisi yang lain, penghambaan terhadap modal sedang terjadi dalam industri musik. Karena sebenarnya yang berkembang bukanlah kreatifitas para seniman muda daalam berkarya, tapi industri musiklah yang mengalami perkembangan.
Musisi-musisi seperti Sheila on 7, Padi, Jamrud, Gigi, dll  yang menjadi idola kalangan anak muda saat ini selalu mengusung lagu-lagu cinta. Hal ini terjadi bukan karena mereka tidak mampu untuk menciptakan lagu-lagu bertemakan keadaan sosial yang ada, tetapi karena mereka harus menghamba pada pasar yang telah menjadikan mereka besar.  Musisi-musisi lainnya yang lebih memilih tema-tema sosial dalam tiap lagunya tidak mampu untuk menembus pasar. Akhirnya, kondisi ini membuat musisi-musisi muda menjadi mandul dan enggan untuk membuat lirik-lirik lagu bertemakan sosial. Dunia Cinema ada kemajuan dengan semakin banyaknya sutradara-sutradara muda yang berani untuk membuat sinetron. Apalagi dengan munculnya 5 stasiun TV  baru, dunia Cinema memang seharusnya mengalami perkembangan. Adalah kesempatan bagi sutradara muda untuk terus berkarya dan mengembangkan kreatifitasnya dalam dunia perfilman. Film petualangan Sherina, Pasir Berbisik, Jalangkung, Ada apa Dengan cinta, Ca Bau Kan serta beberapa Sinetron Mini Seri membuktikan banyak kreator-kreator muda yang cukup berpotensi untuk mengangkat dunia perfilman Indonesia. Begitu juga para insan film (Artis) seharusnya juga lebih terpacu untuk memperbaiki akting bermainya, dan seharusnya para sutradara muda tidak terpaku pada artis-artis yang sudah ada dan sudah diakui oleh pasar. Sekali lagi, betapa pasar telah menguasai semua bidang seni. Film yang tidak dibintangi oleh artis-artis terkenal tidak akan bisa terdongkrak penjualannya di pasaran, padahal banyak artis-artis muda yang cukup berbakat dalam dunia peran. Dunia Cinema juga masih didominasi oleh sutradara-sutradara yang selalu memamerkan kekayaan, kemewahan, dan hura-hura dalam setiap sinetron dan film yang mereka buat, yang justru sangat berbeda dengan realitas sosial yang terjadi di masyarakat. Rakyat semakin dibuat terilusi oleh sinetron yang disuguhkan oleh TV-TV swasta. Entah karena ketidakmampuan para sutradara untuk membuat film-film yang bercerita tentang realitas yang ada pada masyarakat indonesia. Bayangkan ditengah situasi sekarang, dimana harga kebutuhan pokok terus naik rakyat kemudian dicekoki oleh tontonan yang membuat mereka bersedih dan menangis haru. Rakyat pasti akan lupa bahwa harga yang naik akan semakin menyengsarakan mereka, saat mereka menonton sinetron tersanjung, Bidadari, Mencintaimu, Pernikahan Dini, Aku Ingin Pulang, dll. Kemunculan sinetron-sinetron yang membuai tersebut,  membuat rakyat semakin tidak peduli pada kondisi mereka sendiri. Rakyat dibuat menghayal dan terilusi untuk meninggalkan permasalahan mereka sendiri.

Kemajuan didunia Cinema ternyata telah memecah konsentrasi para pekerja Teater. Pekerja Teater memandang dunia cinema  lebih menjanjikan daripada dunia teater. Sehingga para pekerja teater lebih memilih untuk berbondong-bondong pindah ke dunia perfilman dan meninggalkan teater. Apalagi dunia teater yang memang tidak cukup dikenal oleh rakyat. Teater hanya dikenal oleh para pekerja teater sendiri, karena teater hanya dapat dijumpai di gedung-gedung pertunjukkan yang letaknya jauh dari rakyat. Panggung-panggung teater tidak pernah muncul ditengah-tengah rakyat, tidak seperti sinetron yang setiap hari menghiasi layar kaca dirumah-rumah. Ditambah lagi sulitnya menembus gedung pertunjukkan yang ada, karena gedung pertunjukkan sudah dikuasai oleh makelar-makelar. Gedung Kesenian Jakarta yang seharusnya bisa digunakan oleh kelompok teater yang ada di jakarta, tapi hanya
kelompok-kelompok teater tertentu yang dapat mementaskan karyanya. Sehingga kelompok teater yang baru muncul bukan berkembang tetapi semakin mati.

Dalam bidang Ilmu dan Teknologi, ditandai dengan munculnya stasiun-stasiun TV Swasta baru. Kemunculan stasiun TV ini juga mempengaruhi perkembangan budaya dimasyara- kat. Masyarakat semakin mudah untuk mengakses berita-berita dari TV. Selain itu, banjirnya VCD bajakan juga mewarnai perkembangan IPTEK. Belum lama kita digemparkan oleh heboh VCD “Bandung Lautan Asmara”, yang sempat menjadi pro kontra dikalangan masyarakat dan praktisi hukum. Belum lagi Internet yang sudah bisa diakses oleh seluruh masyarakat dengan mudah. Perkembangan teknologi jelas terasa pengaruhnya terhadap budaya masyarakat. Karena masyarakat akan semakin mudah untuk menyerap budaya-budaya impor, atau pasokan budaya lokal yang dibuat justru untuk semakin membelenggu sikap kritis massa rakyat.

Rakyat Pemilik Sah Kebudayaan.
Perkembangan IPTEK yang diikuti oleh perkembangan berbagai bidang seni saat ini semakin menggugah keinginan rakyat untuk berkarya. Dan itu berarti semakin banyak karya seni yang dihasilkan oleh rakyat. Karena rakyatlah pemilik sah kebudayaan, bukan mereka yang mengaku sebagai sastrawan, artis, pelukis dan lainnya yang justru hanya berada di gedung-gedung kesenian atau di galeri-galeri. Tapi rakyat juga bisa berkarya sesuai keinginan mereka, dan merekalah yang layak untuk menilai hasil karya tersebut. Bukan kurator, bukan produser, dan bukan pemilik modal. Perkembangan IPTEK seharusnya digunakan untuk kepentingan rakyat. TV-TV swasta yang ada dapat diguna- kan untuk mementaskan karya-karya para sineas muda yang maju, perupa-perupa progresif dapat memunculkan karyanya di galeri-galeri, gedung-gedung kesenian digunakan untuk pentas teater-teater kampung, koran-koran dapat dijejali dengan puisi-puisi para buruh pabrik. Namun karena kuatnya hegemoni modal, memaksa rakyat untuk lebih kreatif dalam berkarya. Kita bisa menyaksikan panggung-panggung rakyat yang dibuat dimana-mana. Teater  dimainkan di jalan-jalan, musik underground didendangkan dilapangan-lapangan terbuka, kuas-kuas diayunkan di tembok-tembok, puisi-puisi diteriakkan di bis kota. Dan disanalah muncul seniman-seniman muda yang lebih peka terhadap permasalahan disekitar mereka. Karena mereka langsung merasakannya.
Bukan hanya digedung-gedung kesenian muncul kelompok seni, tapi juga di kereta, bis kota, kampung-kampung, pabrik. Kelompok teater bermunculan bagai jamur di kampung -kampung, pengamen jalanan semakin merebak ke tiap perempatan jalan. Di pabrik-pabrik bermunculan penulis-penulis puisi tentang realitas kehidupan buruh. Diperkam- pungan kumuh anak-anak kecil dengan bersemangat berbondong-bondong belajar melukis. Walaupun mereka tidak mampu untuk menembus pintu gerbang gedung kesenian yang telah dibentengi oleh para pemilik modal. Saatnya sekarang untuk terus belajar dan berkarya membangun budaya pembebasan. Semua harus dilakukan agar kebudayaan kembali menjadi milik rakyat. Bukan milik segelintir orang yang selama ini menguasai modal.  

like...